Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Kamis, 08 Maret 2012

2. Pergerakan Bawah Tanah (1900-1930)

Munculnya “Kesadaran Kebangsaan” dimulai dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo, yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan kawan-kawan. Ide pendirian itu berasal dari Dokter Wahidin Soedirohusodo, yang telah berkeliling ke kota-kota di pulau Jawa untuk mengkampanyekan pentingnya dana belajar terutama bagi pelajar-pelajar yang mengalami kekurangan dalam keuangan. Tumbuhnya kesadaran kebangsaan ini bersamaan dengan adanya orang-orang pribumi berpendidikan sebagai akibat dari politik etis (Ethische Politiek) yang mula diberlakukan sejak tahun 1901.
Ide-ide dari wahidin ini ketika disampaikan di Batavia mendapat sambutan yang positif dari murid-murid Sekolah Dokter Djawa, STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) terutama Sutomo, Goenawan, dan kawan-kawannya. Mareka ini orang-orang yang dikenal dengan sebutan kaoem moeda, yang merupakan bagian sedikit sekali dari orang-orang yang bisa menikmati pendidikan.
Kesadaran kebangsaan ini kemdian dikenal dengan nama pergerakan (movement). Suatu gerakan yang mulai tumbuh dengan cepat dalam masyarakat jajahan, yang diekspresikan dalam bentuk koran-koran dan majalah; rapat-rapat dan pertemuan; serikat buruh dan pemogokkan; asosiasi dan partai; novel-novel; lagu daetrah dan teater.
Pada tahap awal, dunia pergerakan masih cenderung bersifat kedaerahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya organisasi-organisasi kedarahan dan juga keagamaan, seperti Budi Utomo yang pernah disebutkan diatas, ketika berdiri keanggotaannya hanya untuk orang  Jawa saja. Awal yang bagus bagi Budi Utomo maka kemudian berkembang Sarekat Islam, Muhammadiyah, Trikoro Dharmo, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pasundan, Indische Partaij dan lain-lain. Yang secara umum lebih bersifat kedaerahan dan keagamaan.
Dunia pergerakan berkembang menjadi semakin jelas arahnya dengan kemunculan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sarekat Islam didirikan oleh H. Samanhudi di Surakarta pada awal 1912, organisasi ini berasal dari perkumpulan Rekso Roemekso yang merupakan perkumpulan ronda untuk menjaga jemuran batik dari pencurian para pencuri. Perkumpulan ini menjadi sangat penting ketika muncul persaingan dengan orang-orang Cina. Organisasi ini muncul di kota-kota tertentu, jadi bersifat lokal. Hal ini disebabkan karena kepengurusan tingkat pusat tidak diberi hak badan hukum (rechtperson) sampai 1918. Dunia pergerakan dapat dikatakan telah tumbuh, hal ini ditandai dengan munculnya koran-koran yang berfungsi media ekspresi orang-orang pergerakan. Media koran menjadi ekspresi ide-idenya, dari sini muncul wartawan-wartawan  yang menjadi pemimpin pergerakan yang memiliki tempat tinggal yang tetap dalam dunianya.
Memasuki tahun 1920an, ada dua bagian yang cukup penting mengenai konsepsi kebangsaan yang mulai ada perubahan. Kalau pada awalnya organisasi-organisasi yang telah disebutkan diatas lebih bersifat lokal atau kedaerahan maka tahun 1920an ditandai dengan munculnya konsepsi tentang Indonesia untuk menyebut seluruh daerah Hindia Belanda.
Konsepsi ini tidak lagi menyebut nama Hindia Belanda, tetapi menggantikannya dengan nama Indonesia yang lebih berkaitan dengan konsepsi politis dan etnografis. Dengan berpijak pada konsepsi politis maka yang terjadi kemudian tidak ada anggapan bahwa Hindia-Belanda bersifat sosiatif, tetapi mengarah kepada otonomi. Perkembangan politik yang penting untuk memperlihatkan peran partai-partai politik pada tahun 1920-an dikenal dengan konsepsi Kooperasi dan Non-Kooperasi dalam kalangan peregrakan. Konsepsi ini sebenarnya bisa ditarik ke belakang untuk melihat pemogokan buruh di tanah Jawa. Dalam menghadapi pemogokan-pemogokan ini, pemerintah Hindia Belanda tidak melakukan penangkapan atas tokoh-tokoh aksi pemogokan tersebut. Hal ini berarti bahwa aksi-aksi yang dijalankan dianggap sejalan dengan kebijakan pemerintah jajahan. Hal ini berbeda dengan tahun 1920-an ketika aksi-aksi yang dilakukan kalangan pergerakan mendapat reaksi yang keras dari pemerintah Hindia Belanda. Reaksi ini berbentuk penangkapan atau pembuangan tokoh-tokoh pergerakan seperti Tan Malaka, Darsono, Abdoel Moeis, Semaun, Mardjohan dan lain-lain.
Kebijakan pemerintah kolonial untuk menghadapi gejolak ini dengan cara mengeluarkan artikel 161 bis yang digunakan untuk menahan atau membuang orang-orang pergerakan. Dengan perkataan lain apa yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa Gubernur Jenderal Dirk Fock  bersifat represif terhadap kalangan pergerakan. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial seperti diatas, baik terhadap kaum pergerakan maupun organisasi pergerakan, nampaknya cukup efektif dalam meredam suara-suara keras dari kalangan pergerakan.
Bagi kaum pergerakan sendiri, sikap represif yang ditunjukan oleh pemerintah kolonial semakin mempertegas posisi kaum pergerakan. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga tahun 1926, yakni ketika pemerintah kolonial dihadapkan pada aksi-aksi kaum komunis, PKI dengan serikat-serikat yang berafiliasi kepadanya. Aksi itu berupa pemberontakan yang terjadi di Banten dan Sumatera Barat. Sikap pemerintah kolonial sama dengan yang ditunjukannya terhadap organisasi radikal dan pemogokan-pemogokan pada tahun 1919-1923 yakni tidak mengenal ampun. Penangkapan, pembuangan bahkan pelarangan-pelarangan terhadap organisasi dan tokoh pergerakan diberlakukan.
Boven Digul menjadi rumah kedua bagi kaum peregrakan yang terlibat dalam aksi pemberontakan yang gagal tersebut. Bagi kaum pergerakan kegagalan aksi yang dilakukan oleh kaum komunis tahun 1926 ini telah memberi pelajaran, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah dalam menghadapi kaum pergerakan yang dipandang radikal. Manfaat yang dapat dipetik dari kegagalan tersebut adalah bagaimana seharusnya menghadapi pemerintahan kolonial. Pandangan seperti ini tetap berlaku hingga tahun 1930-an. Organisasi yang sifatnya non partai mulai dijajaki, namun dalam takaran tertentu memiliki peran dan fungsi yang hampir mirip dengan partai.Maka, Studie Club sebagai arena pertemuan dan tukar pikiran diantara kaum pergerakan dengan melontarkan alternatif pemikiran yang lebih positif dan kritis telah lahir. Sebagai perhimpunan alternatif, Studie Club cukup mampu untuk menjawab sejumlah persoalan koloni waktu itu.
Motor penggerak perhimpunan tersebut adalah Sutomo, Sukarno, Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan sejumlah kalangan pergerakan di Surabaya dan Bandung, kota dimana Studie Club awal dilahirkan. Perkembangan ini nampaknya berjalan kearah yang lebih baik. Namun, pemerintah kolonial pun tak kurang hati-hati terhadap kehadiran Studie Club. Sebab, pemerintah kolonial pun menuduh bahwa Studie Club telah dipengaruhi oleh orang-orang komunis. Pada perkembangan selanjutnya, Studie Club-Studie Club berubah menjadi partai-partai baru yang sesuai dengan kebijakan kelompok-kelompok tersebut. Indonesische Studies Club misalnya menjadi PARINDRA, lalu Algemeene Studie Club menjadi PNI. Kondisi-kondisi  ini tampaknya turut diamati oleh pemerintah kolonial.
Sebab, tokoh-tokoh pergerakan yang tergabung didalamnya beberapa diantaranya termasuk radikal dalam pandangan pemerintah kolonial. Tokoh-tokoh tersebut terutama dari kalangan Algemeene Studies Club yang berorientasi kearah politik. Aktivitas dari Studie Club-Studie Club ini terutama setelah terjadi perubahan menjadi partai makin diperhatikan oleh pemerintah kolonial dimana pemerintah kolonial semakin meningkatkan kewaspadaannya. Ini dapat dilihat, bagaimana pemerintah kolonial memperlakukan PNI dan tokoh-tokohnya. Penahanan dan penangkapan dari pengurus-pengurus PNI yang mengundang kritik dari kaum pergerakan, bahkan PNI sebagai salah satu partai terbesar dapat dilumpuhkan.
Konsekwensi dari penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI dan kacaunya PNI intern sendiri, telah melahirkan sikap dan pandangan kaum pergerakan terhadap pemerintah kolonial. Sikap dan pandangan kaum pergerakan tersebut adalah kooperasi atau non-kooperasi. Bukan hal yang baru sebenarnya. Jika ditelusuri cara pandang seperti itu ada juga pada awal tahun 1920-an, tetapi belum dirumuskan secara lebih jelas. Adapun yang dimaksud dengan non – kooperasi adalah tidak mau bekerjasama dengan pemerintahan kolonial. Kaum pergerakan dalam kelompok ini juga menolak adanya Schijn Parlemen (Parlemen Palsu) atau Volksraad, juga menolak raad-raad raad-raad yang lain.
PNI adalah partai masa yang mengambil sikap non-kooperasi. Soekarno, Sartono dan yang lainnya dalam tubuh PNI ini tetap konsisten dengan sikap yang mereka tentukan. Sikap yang dipegang oleh Soekarno dan kawan-kawannya ini di PNI, berbenturan dengan pemerintah kolonial. Hal ini kemudian tidak jarang berakibat dilakukannya pembuangan dan pemenjaraan terhadap tokoh-tokoh PNI itu. Boven Digul, Banda Neira dan Bengkulu merupakan sejumlah tempat yang cukup terkemuka sebagai tempat pembuangan pada masa itu.

Tidak ada komentar: