Munculnya “Kesadaran Kebangsaan”
dimulai dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo, yang didirikan pada tanggal
20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan kawan-kawan. Ide pendirian itu berasal dari
Dokter Wahidin Soedirohusodo, yang telah berkeliling ke kota-kota di pulau Jawa
untuk mengkampanyekan pentingnya dana belajar terutama bagi pelajar-pelajar
yang mengalami kekurangan dalam keuangan. Tumbuhnya kesadaran kebangsaan ini
bersamaan dengan adanya orang-orang pribumi berpendidikan sebagai akibat dari
politik etis (Ethische Politiek) yang mula diberlakukan sejak tahun
1901.
Ide-ide dari wahidin ini ketika
disampaikan di Batavia mendapat sambutan yang positif dari murid-murid Sekolah
Dokter Djawa, STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen)
terutama Sutomo, Goenawan, dan kawan-kawannya. Mareka ini orang-orang yang
dikenal dengan sebutan kaoem moeda, yang merupakan bagian sedikit sekali
dari orang-orang yang bisa menikmati pendidikan.
Kesadaran kebangsaan ini kemdian
dikenal dengan nama pergerakan (movement). Suatu gerakan yang mulai
tumbuh dengan cepat dalam masyarakat jajahan, yang diekspresikan dalam bentuk
koran-koran dan majalah; rapat-rapat dan pertemuan; serikat buruh dan
pemogokkan; asosiasi dan partai; novel-novel; lagu daetrah dan teater.
Pada tahap awal, dunia pergerakan
masih cenderung bersifat kedaerahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya
organisasi-organisasi kedarahan dan juga keagamaan, seperti Budi Utomo yang
pernah disebutkan diatas, ketika berdiri keanggotaannya hanya untuk orang Jawa saja. Awal yang bagus bagi Budi Utomo
maka kemudian berkembang Sarekat Islam, Muhammadiyah, Trikoro Dharmo, Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Pasundan, Indische Partaij dan lain-lain. Yang
secara umum lebih bersifat kedaerahan dan keagamaan.
Dunia pergerakan berkembang menjadi
semakin jelas arahnya dengan kemunculan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sarekat
Islam didirikan oleh H. Samanhudi di Surakarta pada awal 1912, organisasi ini
berasal dari perkumpulan Rekso Roemekso yang merupakan perkumpulan ronda untuk
menjaga jemuran batik dari pencurian para pencuri. Perkumpulan
ini menjadi sangat penting ketika muncul persaingan dengan orang-orang Cina.
Organisasi ini muncul di kota-kota tertentu, jadi bersifat lokal. Hal ini
disebabkan karena kepengurusan tingkat pusat tidak diberi hak badan hukum (rechtperson)
sampai 1918. Dunia pergerakan dapat dikatakan telah tumbuh, hal ini ditandai
dengan munculnya koran-koran yang berfungsi media ekspresi orang-orang
pergerakan. Media koran menjadi ekspresi ide-idenya, dari sini muncul
wartawan-wartawan yang menjadi pemimpin
pergerakan yang memiliki tempat tinggal yang tetap dalam dunianya.
Memasuki tahun 1920an, ada dua bagian
yang cukup penting mengenai konsepsi kebangsaan yang mulai ada perubahan. Kalau
pada awalnya organisasi-organisasi yang telah disebutkan diatas lebih bersifat
lokal atau kedaerahan maka tahun 1920an ditandai dengan munculnya konsepsi
tentang Indonesia untuk menyebut seluruh daerah Hindia Belanda.
Konsepsi ini tidak lagi menyebut nama
Hindia Belanda, tetapi menggantikannya dengan nama Indonesia yang lebih
berkaitan dengan konsepsi politis dan etnografis. Dengan
berpijak pada konsepsi politis maka yang terjadi kemudian tidak ada anggapan
bahwa Hindia-Belanda bersifat sosiatif, tetapi mengarah kepada otonomi.
Perkembangan politik yang penting untuk memperlihatkan peran partai-partai
politik pada tahun 1920-an dikenal dengan konsepsi Kooperasi dan Non-Kooperasi
dalam kalangan peregrakan. Konsepsi ini sebenarnya bisa ditarik ke belakang
untuk melihat pemogokan buruh di tanah Jawa. Dalam menghadapi
pemogokan-pemogokan ini, pemerintah Hindia Belanda tidak melakukan penangkapan
atas tokoh-tokoh aksi pemogokan tersebut. Hal ini berarti bahwa aksi-aksi yang
dijalankan dianggap sejalan dengan kebijakan pemerintah jajahan. Hal ini
berbeda dengan tahun 1920-an ketika aksi-aksi yang dilakukan kalangan
pergerakan mendapat reaksi yang keras dari pemerintah Hindia Belanda. Reaksi
ini berbentuk penangkapan atau pembuangan tokoh-tokoh pergerakan seperti Tan
Malaka, Darsono, Abdoel Moeis, Semaun, Mardjohan dan lain-lain.
Kebijakan pemerintah kolonial untuk
menghadapi gejolak ini dengan cara mengeluarkan artikel 161 bis yang digunakan
untuk menahan atau membuang orang-orang pergerakan. Dengan perkataan lain apa
yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa Gubernur Jenderal Dirk
Fock bersifat represif terhadap kalangan
pergerakan. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial seperti
diatas, baik terhadap kaum pergerakan maupun organisasi pergerakan, nampaknya
cukup efektif dalam meredam suara-suara keras dari kalangan pergerakan.
Bagi kaum pergerakan sendiri, sikap
represif yang ditunjukan oleh pemerintah kolonial semakin mempertegas posisi
kaum pergerakan. Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga tahun 1926,
yakni ketika pemerintah kolonial dihadapkan pada aksi-aksi kaum komunis, PKI
dengan serikat-serikat yang berafiliasi kepadanya. Aksi itu berupa
pemberontakan yang terjadi di Banten dan Sumatera Barat. Sikap pemerintah
kolonial sama dengan yang ditunjukannya terhadap organisasi radikal dan
pemogokan-pemogokan pada tahun 1919-1923 yakni tidak mengenal ampun. Penangkapan,
pembuangan bahkan pelarangan-pelarangan terhadap organisasi dan tokoh
pergerakan diberlakukan.
Boven Digul menjadi rumah kedua bagi
kaum peregrakan yang terlibat dalam aksi pemberontakan yang gagal tersebut. Bagi
kaum pergerakan kegagalan aksi yang dilakukan oleh kaum komunis tahun 1926 ini
telah memberi pelajaran, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah dalam
menghadapi kaum pergerakan yang dipandang radikal. Manfaat yang dapat dipetik
dari kegagalan tersebut adalah bagaimana seharusnya menghadapi pemerintahan
kolonial. Pandangan seperti ini tetap berlaku hingga tahun 1930-an. Organisasi
yang sifatnya non partai mulai dijajaki, namun dalam takaran tertentu memiliki
peran dan fungsi yang hampir mirip dengan partai.Maka, Studie Club sebagai
arena pertemuan dan tukar pikiran diantara kaum pergerakan dengan melontarkan
alternatif pemikiran yang lebih positif dan kritis telah lahir. Sebagai
perhimpunan alternatif, Studie Club cukup mampu untuk menjawab sejumlah
persoalan koloni waktu itu.
Motor penggerak perhimpunan tersebut
adalah Sutomo, Sukarno, Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan sejumlah
kalangan pergerakan di Surabaya dan Bandung, kota dimana Studie Club awal
dilahirkan. Perkembangan ini nampaknya berjalan kearah yang lebih baik. Namun,
pemerintah kolonial pun tak kurang hati-hati terhadap kehadiran Studie Club.
Sebab, pemerintah kolonial pun menuduh bahwa Studie
Club telah dipengaruhi oleh orang-orang komunis. Pada perkembangan
selanjutnya, Studie Club-Studie Club berubah menjadi partai-partai baru
yang sesuai dengan kebijakan kelompok-kelompok tersebut. Indonesische
Studies Club misalnya menjadi PARINDRA, lalu Algemeene Studie Club menjadi
PNI. Kondisi-kondisi ini tampaknya turut
diamati oleh pemerintah kolonial.
Sebab, tokoh-tokoh pergerakan yang
tergabung didalamnya beberapa diantaranya termasuk radikal dalam pandangan
pemerintah kolonial. Tokoh-tokoh tersebut terutama dari kalangan Algemeene
Studies Club yang berorientasi kearah politik. Aktivitas dari Studie
Club-Studie Club ini terutama setelah terjadi perubahan menjadi partai
makin diperhatikan oleh pemerintah kolonial dimana pemerintah kolonial semakin
meningkatkan kewaspadaannya. Ini dapat dilihat, bagaimana pemerintah kolonial
memperlakukan PNI dan tokoh-tokohnya. Penahanan dan penangkapan dari
pengurus-pengurus PNI yang mengundang kritik dari kaum pergerakan, bahkan PNI
sebagai salah satu partai terbesar dapat dilumpuhkan.
Konsekwensi dari
penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI dan kacaunya PNI intern
sendiri, telah melahirkan sikap dan pandangan kaum pergerakan terhadap
pemerintah kolonial. Sikap dan pandangan kaum pergerakan tersebut adalah
kooperasi atau non-kooperasi. Bukan hal yang baru sebenarnya. Jika ditelusuri
cara pandang seperti itu ada juga pada awal tahun 1920-an, tetapi belum
dirumuskan secara lebih jelas. Adapun yang dimaksud dengan non – kooperasi
adalah tidak mau bekerjasama dengan pemerintahan kolonial. Kaum pergerakan
dalam kelompok ini juga menolak adanya Schijn Parlemen (Parlemen Palsu)
atau Volksraad, juga menolak raad-raad raad-raad yang lain.
PNI adalah partai masa yang mengambil
sikap non-kooperasi. Soekarno, Sartono dan yang lainnya dalam tubuh PNI ini
tetap konsisten dengan sikap yang mereka tentukan. Sikap yang dipegang oleh
Soekarno dan kawan-kawannya ini di PNI, berbenturan dengan pemerintah kolonial.
Hal ini kemudian tidak jarang berakibat dilakukannya pembuangan dan pemenjaraan
terhadap tokoh-tokoh PNI itu. Boven Digul, Banda Neira dan Bengkulu merupakan
sejumlah tempat yang cukup terkemuka sebagai tempat pembuangan pada masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar