Konsep tentang pemuda sering
diperberat oleh nilai-nilai. Ada sejumlah ungkapan yang menyatakan bahwa pemuda
adalah pemilik masa depan bangsa, pemuda adalah tiang negara. adalah perlu
untuk mempertimbangkan patokan-patokan yang menyangkut pemuda berkaitan dengan
aspek obyektif yang lebih menunjuk pada kesamaan umur misalnya atau aspek
subyektif yang mengacu pada arti yang diberikan oleh masyarakat. Dalam aspek
ini masyarakat mengakui bahwa peran yang dimainkan pemuda diliputi oleh
kesepakatan terhadap peralihan suasana.
Munculnya harapan yang diinginkan dan
kenyataan yang ada melingkupi pemuda, pada dasarnya akan melahirkan sintesis
sehingga pemuda bisa menciptakan sejarahnya sendiri atau meneruskan apa yang
telah diperbuat atau diciptakan oleh generasi sebelumnya. Pada dasarnya pemuda
disebut sebagai masa ”ambang pintu” yang harus bersikap menyongsong hari
depan.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut
diatas penulis mncoba menguraikan pemuda tahun 1930an dalam hubungannya dengan
pergerakan. Budi Utomo sebagai organisasi kebangsaan ternyata diikuti oleh
sejumlah organisasi lainnya yang bersifat kedaerahan. Kemudian muncul
organisasi Trikoro Dharmo (tiga tujuan mulia) yang berdiri pada tahun 1915,
yang meskipun anggotanya bersifat terbuka bagi seluruh orang yang ada di pulau
Jawadan Bali, tetapi azasnya menyatakan untuk ”kebudayaan Djawa Raya”.
Organisasi-organisasi pemuda kedaerahan, misalnya Jong Sumatranen Bond, Jong Java,
yang merupakan kelanjutan dari Trikoro Dharmo sejak 1918, Jong Minahasa, Jong
Ambon, Sekar Rukun dan sebagainya yang pada umumnya bersifat anti imperialisme.
Hal yang perlu diperhatikan tentang
organisasi pemuda ini adalah organisasi pemuda yang terdapat di negeri Belanda,
yaitu Perhimpunan Indonesia (PI) yang dengan tegas bertujuan mencapai Indonesia
merdeka. Sifat revolusioner dari Perhimpunan Indonesia (PI) ternyata besar
sekali pengaruhnya terhadap kalangan pergerakan di Indonesia, sampai pada
pendirian Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927 di Bandung, yang
kemudian berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Tentang perserikatan ini
cukup menarik karena berkaitan dengan sikap pemerintah Hindia Belanda yang
represif terhadap partai, seiring dengan ditumpasnya pemebrontakan PKI pada
tahun 1926-1927 di Jawa dan Sumatera. Reaksi kaum pergerakan yang dingin
terhadap partai mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok studie (Studie
Club). Dari sekian banyak organisasi pemuda dihadapkan pada tindakan yang
represif oleh pemerintah Hindia Belanda, maka diperlukan wadah tentang
pentingnya arti persatuan. Untuk mewujudkan hal ini maka dibentuk Perhimpoenan
Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) tahun 1927 di Jakarta yang kemudian dipertegas lagi dengan Kongres
Pemuda II tahun 1928 di Jakarta yang kemudian melahirkan ”SUMPAH PEMUDA”.
Dalam perkembangan selanjutnya
organisasi-organisasi pemuda ini melebur diri menjadi Indonesia Moeda dalam
kongres di Solo pada tanggal 28 Desember 1930 sampai dengan 2 Januari 1931. Organisasi
ini sudah ini sudah mempunyai tujuan yang jelas yaitu untuk lebih memperkuat
persatuan dikalangan pemuda dan membangkitkan keinsyafan pada mereka bahwa mereka adalah satu rakyat dan satu tanah air,
melenyapkan provinsialisme dan memberikan tempat pada Indonesia. Dengan
memperhatikan aktivitas pemuda pada masa pergerakan, terutama sesudah tahun
1930-an. Setidaknya dapat di temukan dua pola aktivitas.
Pertama
Organisasi yang berada di bawah
partai (underbow) organisasi-organisasi politik yang ada pada tahun
1930-an seperti PARTINDO yang berdiri pada tahun 1931 sesudah pembubaran Partai
Nasional Indonesia (PNI) oleh Sartono, memiliki organisasi pemuda dengan nama
Gabungan Muda Partindo (GEMPA) yang merupakan organisasi untuk tingkat pusat.
Sedangkan untuk tingkat lokalnya seperti di Yogyakarta dikenal dengan nama
Persatuan Pemuda Rakyat. GERINDO yang berpusat di Jakarta, sebagai induknya
organisasi ini juga memberikan dukungan kepada politik dan tuntutan anti fasis.
Penggalangan front anti fasis dikalangan pemuda, mendidik kader, menegmbangkan
kebudayaan dan kesenian yang bersifat kerakyatan. Organisasi saingan PARTINDO
yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) untuk tingkat lokal di Malang
mendirikan organisasi Suluh Pemuda Indonesia.
Kedua
Organisasi yang tidak berada dibawah
partai, tetapi bergerak dikalangan orang-orang terpelajar seperti Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Dimana dalam perkembangannya Unitas
Studiosorum Indonesiensis (USI) yang berdiri pada tahun 1933 dan Indonesche
Vrouwen Studenten Vereeniging (IVSV) pada tahun 1941 mendirikan Badan
Permusjawaratan Pelajar Indonesia (BAPERPI). Kebijakan-kebijakan yang
konservatif dari Gubernur Jenderal De Jonge juga dirasakan oleh
organisasi-organisasi pemuda. Semisal, Persatuan Pemuda Ra’jat Indonesia
(PERPRI) dan Suluh Pemuda Indonesia yang karena hubungannya dengan PARTINDO dan
PNI-Baru tidak diperkenankan untuk mengadakan rapat sehingga organisasi ini
menjadi lemah.
Dengan mengubah haluan dari radikal
ke arah sebaliknya maka organisasi ini dapat menyelamatkan diri. Hal yang sama
juga dialami oleh Indonesia muda yang mendapat tekanan cukup berat, karena
keterlibatannya dalam bidang politik. Tindakan keras yang diambil polisi
terhadap organisasi ini adalah konsekwensi yang harus diterima organisasi
tersebut dalam menjalankan propaganda Soekarno tentang perlunya organsiasi ini
menerima anggot marhaen yang tidak terpelajar. Akibatnya organisasi ini menjadi
organisasi pemuda yang wajar, mengurangi aktivitas politik maka bisa
diselamatkan dari bahaya kehancuran.
Pengaruh propaganda yang dilakukan
tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir melalui
tulisan-tulisan sedikit banyak telah memberikan pemahaman politik kepada para
pemuda yang tergabung dengan organisasi-organisasi tersebut. Menjelang akhir
masa pemerintahan Hindia Belanda, melalui kongres di Yogyakarta pada bulan
Desember 1939 berhasil dibentuk badan gabungan yang kemudian berpusat di
Jakarta dengan nama Persatuan Gerakan Pemuda Indonesia (PERPINDO) sedangkan
untuk di daerah bernama Persatuan Daerah (PERDA). Usaha-usaha yang dilakukan
dengan cara memobilisasi masa pada Februari 1940, berupa rapat terbuka yang
membicarakan tentang perlunya persatuan dikalangan pemuda. Pemerintah Hindia
Belanda dalam menghadapi tuntutan organisasi pemuda melakukan hal yang serupa
seperti apa yang diberikan kepada kalangan nasionalis melalui partai-partai
kooperatif, yaitu tidak memenuhi berbagai tuntutan tersebut. Seruan-seruan yang
dilakukan melalui rapat terbuka dan tulisan dari kalangan pergerakan tentang
bahaya fasis tidak menjadikan pemerintah Hindia Belanda memberika
konsesi-konsesi kepada kalangan pergerakan tersebut.
Tuntutan untuk membentuk fron anti
fasis dari kalangan pemuda tidak ditanggapi, bahkan diambil tindakan yang tegas
terhadap para pemimpin pemuda. Tindakan yang sangat keras malah terjadi pada
tahun 1942 ketika pemerintah Hindia Belanda menangkapi tokoh-tokoh pemuda
seperti A.M Sipatoehar, S.K. Trimurti, Wikana, Asmara Hadi, Inu Kertapati,
Pandu Kartawiguna, Imam Poespowinoto, Samsuri, Isa Sutan Sumantri, Sidik
Kertapati dan lain-lain. Berbeda dengan kalangan nasionalis yang kooperatif,
apa yang dilakukan oleh para pemuda ini bersifat revolusioner. Mereka melakukan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk menggalang persatuan dalam rangka
kemerdekaan Indonesia. Kalangan pergerakan tentang ide-ide revolusioner
bisa dibuktikan melalui aktivitas politik mereka.
Tentang bagaimana Hatta dan Sjahrir
mulai dengan ide-ide mendirikan partai kader dan bukan partai masa sebagaimana
sebelumnya terjadi pada PNI. Pemahaman mereka tentang isu kooperasi dan
non-kooperasi dalam dunia pergerakan, bagaimana cara mengatasi hubungan
pemerintah jajahan dengan negeri terjajah, ide-ide revolusioner dalam rangka
pembebasan negara, kalau dilihat dari aktivitas politiknya sangat jelas.
Seperti apa yang diakui oleh seorang pemuda tentang perkenalannya dengan
organisasi-organisasi non-kooperasi.
Organisasi-organisasi pemuda pada
masa 1930-an memberikan pengaruh positif kepada kaum muda. Hal yang menjadi
persoalan sekarang apakah ide-ide yang
berkembang pada masa ini, ide tentang perlunya pengorganisasian yang teratur
dari pergerakan, ide kooperasi dan non-kooperasi yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari tahun 1920-an, ide tentang perlunya partai kader untuk mendidik
kalangan muda yaitu pada masa pendudukan Jepang. Tentang pendidikan ini, Hatta
mengulas lebih jauh :
”...Pendidikan! Bukan atau belum
lagi partai bukan karena khilaf atau curiga diberi nama ’pendidikan’ melainkan
dengan sengaja. Tidak perlu tepuk dan sorak kalau kita tidak sanggup berjuanga,
tidak tahu menahan sakit. Indonesia merdeka tidak akan tercapai dengan agitasi
saja, kita perlu bekerja dengan teratur dari agitasi ke organisasi. Kedaulatan
rakyat adalah dasar pendidikan kita. Sudah banyak ’isme’ yang datang ke
Indonesia, akan tetapi tidak ada yang dirasakan oleh rakyat seperti cita-cita
’kedaulatan rakyat’. Ini tidak mengherankan karena ia mengandung pengakuan
bahwa rakyat yang banyak menjadi jiwa bangsa, bahwa nasib rakyat harus
ditetapkan rakyat sendiri. Mendidik rakyat supaya timbul semanagt merdeka itu,
itulah pekerjaan kita yang utama. Ini bukan suatu pekerjaan yang mudah dan
lekas tercapai, akan tetapi suatu pekerjaan yang berkehendak kepada iman, yakni
sabar dan kemauan yang keras. Dengan
agitasi membangkitkan kegembiraan hati orang banyak tetapi tidak membentuk
pikiran orang. Karena kerap kali kegembiraan sementara itu lenyap dengan keras.
Agitasi baik pembuka jalan! Didikkan membimbing rakyat keorganisasi ”.
( Mohammad Hatta)
Membuktikan peran kaum pergerakan
dalam memajukan pergerakan menuju cita-citanya. Kalangan pemuda yang berperan
besar dalam masa pendudukan jepang muncul pertama kali pada tahun 1930-an ini.
Berikut akan dibahas tokoh-tokoh pemuda dengan biografi singkatnya.
Soedarpo Sastrosatomo adalah salah
seorang tokoh yang pada jaman Jepang berperan sebagai orang yang sangat dekat
hubungannya dengan Sutan Sjahrir yang terkenal dengan gerakan Underground dia
muncul tahun 1930-an. Soedarpo dilahirkan tahun 1920 di Pangkalan Brandan,
Sumatera Utara berasal dari keluarga Jawa yang menjadi pengurus Budi Utomo di
daerahnya dan juga deket dengan kalangan Taman Siswa. Kehidupan masa kecil yang
lebih dekat pada kalangan nasionalis tetapi kemudian bersekolah disekolah
Belanda. Sikap nasionalisme kemudian tercermin karena lingkungan pergaulan
sekitarnya yang memberikan warna kehidupannya.
Tokoh lain yang masuk dalam lingkaran
Sjahrir adalah Soedjatmoko yang bersama-sama Soedarpo pada jaman pendudukan
Jepang menentang aksi penggundulan kepala yang dilakukan oleh serdadu Jepang
terhadap mahasiswa Ikadaigaku. Soedjatmoko lahir tahun 1922, dikenal
sebagai seorang intelektual yang mengkhususkan diri pada teori-teori ilmu
sosial dan politik. Soedjatmoko pada masa kecilnya tinggal di negeri Belanda
dan setelah masa pendudukan Jepang Soedjatmoko adalah anggota Unitas
Studiosorum Indonesia (USI) bersama-sama Soedarpo, Andi Zainal, dan Amir
Hamzah menjadi anggota kelompok studi yang di organisir oleh Amir Sjarifuddin.
Dari pengalamannya menjadi anggota kelompok studi itu dan pergaulannya pada
masa penduddukan, dapat dikatakan mempunyai mentor tiga orang, yaitu Amir
Sjarifuddin, Soekarno dan Sjahrir.
Pamudji, pada permulaannya adalah
seorang yang di rekrut pertama kali oleh Muso. Dalam perkembangannya kemudian
ia masuk kedalam kelompok Amir Sjarifuddin. Pada awal pendudukan Jepang
terlibat dalam usaha-usaha gerakan bahwa tanah yang dibiayai Van Der Plas, yang
kemudian ketika ditangkap dijatuhi hukuman mati oleh Jepang pada bulan Januari
1943.
Subandi Widarta berasal dari
kediri, kemudian menjadi anggota Suluh Pemuda Indonesia cabang Surabaya sejak
tahun 1930-an. Setelah kunjungan rahasia Muso ke Surabaya pada tahun 1935, ia
bekerja di pabrik minyak BPM. Ketika pada pertengahan tahun 1942, pemerintah
Jepang menangkap para pemimpin PKI bawah tanah, maka pemimpin organisasi itu
beralih kepada selama pendudukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar