Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Kamis, 08 Maret 2012

Gerakan Bawah Tanah

Usaha-usaha untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka dibutuhkan adanya pengakuan secara resmi dari pihak lain. Pada awal pendudukan Jepang, melakukan kegiatan politik yang legal menjadi persoalan kalangan kebangsaan. Untuk mencapai Indonesia merdeka tetap harus dilanjtkan walaupun hanya sebatas hasil rapat secara lisan tidak tertulis pada waktu itu. Masalah utama yang dibicarakan pada waktu itu adalah bagaimana usaha tersebut harus dilakukan? Hal tersebut menjadi awal pemikiran kalangan kebangsaan.
Terdapat dua pandangan yang dianut kalangan kebangsaan pada waktu itu. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa usaha-usaha kebangsaan perlu dilanjutkan melalui kerjasama dengan Jepang. Kedua,  bahwa usaha tersebut harus dilakukan tanpa kerjasama dengan Jepang. Bagi mereka yang menganut kerjasama dengan Jepang, menganggap bahwa musuh utama bukan Jepang melainkan Belanda. Karena itu lebih baik kerjasama dengan Jepang. Pandangan ini banyak dianut kalangan kebangsaan yang berasal dari PARINDRA, partai yang ada pada masa pergerakan.
Soekarno, Hatta dan kalangan kebangsaan terkemuka diantaranya menganut pandangan yang pro sama Jepang. Sebagai akibatnya, mereka kemudian ditarik untuk menduduki lembaga yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang seperti PUTERA atau Jawa Hokokai. Mereka juga mempengaruhi pemuda Indonesia untuk masuk lembaga yang dibentuk oleh Jepang. Bagi mereka yang menolak kerjasama dengan Jepang, menganggap musuh yang utama bukan Belanda, melainkan Jepang. Pandangan ini melihat konflik yang ada secara internasional antara fasis melawan demokrasi.
Bagi mereka kekuatan yang harus didukung adalah demokrasi dan karena Jepang dianggap termasuk fasis, mereka menolak bekerjasama dengan Jepang. Pandangan ini diantaranya dianut oleh Sjahrir, kalangan muda dan kalangan nasionalis lokal atau daerah. Sebagai akibat pilihan itu mereka menolak masuk ke dalam lembaga yang dibentuk Jepang. Kalaupun mereka masuk, tujuannnya untuk mempengaruhi pemuda-pemuda. Mereka yang menganut pandangn ini yang kemudian banyak terlibat dengan gerakan bawah tanah. Strategi ini bagi mereka merupakan yang terbaik untuk melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai kemerdekaan.
Pada waktu itu, dalam menjalankan pemerintahannya Jepang hanya meneruskan apa yang telah dilakukan pemerintah Hindia Belanda sebelumnya, dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Dengan adanya kebijakan ini, kekuatan militer hampir secara dominan berada di Jakarta. Kuatnya pengawasan militer ini mengakibatkan bentuk-bentuk gerakan bawah tanah yang muncul di Jakarta agak berbeda dengan apa yang muncul di tempat-tempat lain di Pulau Jawa.
Kalangan yang menolak kerjasama dengan Jepang yaitu kelompok Sjahrir, yang berpusat di Jakarta. Kelompok ini merupakan kelanjutan dari PNI-Baru yang telah hadir di panggung politik sejak tahun 1930-an. Beberapa orang dari PNI-Baru seperti Dr. Sudarsono dan Sugra di Cirebon; Cucun, Rusni dan Tobing di Bandung; Wijono dan Sugiono Yosodiningrat di Yogyakarta; Djohan Sjahroezah.
    Aktivitas utama dari kelompok ini adalah merekrut orang-orang dari kalangan terdidik, misalnya mahasiswa-mahasiswa dari sekolah kedokteran dan sekolah hukum. Kelompok yang terbentuk kemudian inilah yang dikenal sebagai gerakan bawah tanah pada masa pendudukan Jepang. Diskusi menjadi salah satu kegiatan penting dalam kelompok ini, melalui pertemuan-pertemuan yang mereka adakan.
Kemudian terbentuk kelompok-kelompok jaringan yang terbentuk karena mendengarkan radio siaran luar negeri, hal yang sangat terlarang di masa pendudukan Jepang. Mereka menyebarkan informasi tentang jalannya perang dan situasi internasional ke berbagai kota di Jawa. Berita-berita perang selalu di dengar sendiri oleh Sjahrir melalui radio gelap yang dimilikinya, dan dibuatnya ringkasan yang setiap hari diteruskannya kepada Hatta dan Soekarno. Kemudian ternyata Soekarno lebih mempercayai berita propaganda Jepang dari pada berita yang didapat dari siaran radio sekutu. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu, semua pesawat radio disegel oelh penguasa Jepang agar tidak dapat dipergunakan untuk mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri. Tiap orang yang tertangkap memiliki pesawat radio yang tidak disegel dan mendengarkan radio luar negeri pasti disiksa dan menghadapi kemungkinan ancaman hukuman mati.
Sjahrir bersama kelompoknya sering membahas soal-soal yang bersangkutan dengan keadaan perang pada umumnya, keadaan dalam negeri dan bagaimana mencapai tujuan Indonesia merdeka. Seperti apa yang kita lihat sebagai kelompok Sjahrir, itu juga dari  berbagai kota dan tentunya untuk melakukan komunikasi dibangun jaringan-jaringan didalam kota dan antar kota. Jaringan yang terbentuk secara informal ini sebenarnya bukan hal yang baru muncul pada jaman pendudukan Jepang. Hubungan antara anggota-anggota PNI-Baru yang membentuk Study Group  di masing-masing kota tetap berjalan, sehingga dimungkinkan adanya komunikasi satu sama lain. Ketika Jepang masuk, hubungan yang telah terjalin ini tetap dipertahankan walau harus dilakukan secara rahasia. Karena tidak semua diantara mereka dapat mengumpulkan informasi, maka kebutuhan untuk tetap berhubungan pun muncul, disamping memang adanya kontinuitas dalam hubungan mereka sejak jaman pergerakan.
Pada masa pendudukan, tindakan pemerintah militer Jepang sangat represif. Jaringan mata-mata Kenpeitai  merupakan momok bagi mereka yang aktif dalam politik. Sulit diduga siapa saja yang menjadi mata-mata pada saat itu. Menurut beberapa kesaksian bahkan ada wanita penghibur yang menjadi mata-mata yang dikenal dengan sebutan ”kipas hitam”. Hal ini menimbulkan semacam kekhawatiran tertentu terhadap pengawasan mata-mata. Kecurigaan terhadap satu sama lain dengan sendirinya menebar ketika melakukan aktivitas-aktivitas yang mengandung resiko. Dalam menjalankan hubungan di dalam kota dan antar kota pun diperlukan sikap hati-hati. Antara golongan yang satu dengan golongan yang lain sering terdapat salah sangka, takut kalau-kalau diantara mereka sebenarnya dipergunakan oleh Jepang untuk memata-matai golongan-golongan pemuda yang lain dan melaporkannya kepada Jepang.
Waktu itu ada beberapa kelompok di tangkap kenpeitai sesudah pemogokan mahasiswa. Dikalangan mahasiwa pun terdapat banyak cecunguk  yang melaporkan segala bentuk aktivitas kepada kenpeitai. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam mencari hubungan dengan golongan lain, melalui satu atau dua orang yang bisa dipercaya.
Istilah cecunguk ini merupakan sebutan bagi mata-mata yang melaporkan kegaitan rapat-rapat atau pertemuan yang diselenggarakan oleh kalangan nasionalis kepada pemerintah pendudukan Jepang.


Asrama Indonesia Merdeka (Kebon Sirih 80)
Salah satu tempat yang di isi oleh mahasiswa-mahasiswa dari kelompok Sjahrir adalah Asrama Indonesia Merdeka yang terletak di jalan Kebon Sirih 80 Jakarta Pusat. Didirikan oleh kantor penghubung angkatan laut (bukanfu). Dengan memberi pendidikan di tempat yang didirikan oleh Jepang, Sjahrir dapat menghilangkan jejak keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah. Mata pelajaran yang diberikan pada mahasiswa-mahasiwa di Asrama Indonesia Merdeka, secara khusus berbeda dengan yang diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya. Bahan-bahan dalam pendidikan cenderung lebih praktis sifatnya, dan dalam kaitannya dengan gagasan Indonesia merdeka, yang meliputi :
-    Sejarah pergerakan nasional
-    Prinsip nasionalisme dan demokrasi
-    Perburuhan dan pergerakan kaum muda
-    Masalah-masalah pertanian.

Disamping Sjahrir, pengajar lainnya adalah Hatta, Soebardjo, Wikana, Sudiro, Iwa Kusuma Sumantri, dan lain-lain. Keanggotaan dalam kelompok ini relatif lebih longgar sifatnya. Anggotanya sekitar 30 orang dan sebagian besar berasal dari Jakarta. Pimpinan kelompok ini berada ditangan Ahmad Soebardjo dan Wikana dengan bantuan Samsudi. Tujuan asrama ini melatih para pemuda seluruh Jawa. Pihak Jepang sendiri (Koigun) melalui orang-orang seperti Yoshizumi dan Nishijimo berusaha mempengaruhi anggota-anggota asrama untuk berpihak kepada Jepang, tetapi usaha ini tidak berkasil karena kuatnya semangat anti fasis dari anggota-anggotanya. 

  
Asrama Prapatan 10
Disamping  itu ada sebuah asrama yang terletak di Jalan Prapatan 10 Jakarta Pusat. Asrama ini sebagian besar di huni oleh mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ikadaigakku). Asrama yang disebut pertama mulai aktif bersamaan dengan dibukanya kembali Sekolah Kedokteran yang merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang diizinkan oleh pemerintah pendudukan Jepang, tepatnya dibuka pada awal tahun 1943. Dengan melihat Ikadaigakku sebagai pemilik asrama, ada beberapa hal yang menarik.
Pertama, yang menjadi anggotanya hanya mahasiswa kedokteran. Hal ini berarti menutup kemungkinan untuk menarik anggota yang lebih luas. Kedua, di asrama ini terdapat dua kelompok, yaitu mereka yang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah diluar bidang studi kedokteran dan mereka yang hanya melulu belajar agar dapat dengan cepat menyelesaikan pendidikan. Dari kelompok yang disebutkan pertama, juga terdapat dua bagian. Pertama, mereka yang benar-benar memiliki perhatian terhadap masalah-masalah kalangan kebangsaan untuk mencapai tujuan Indonesia merdeka. Kedua, mereka yang kelihatannya memiliki perhatian tapi sebetulnya tidak. Orang-orang yang terakhir ini melibatkan dengan mereka yang memiliki perhatian terhadap masyarakat, bukan untuk kepentingan kaum kebangsaan, melainkan untuk kepentingan Jepang. Mereka sengaja disusupkan atau sengaja berhubungan dengan pemerintah pendudukan Jepang yang tujuannnya adalah mencari informasi mengenai kegiatan dari kalangan kebangsaan.
Penghuni asrama masa pendudukan Jepang adalah Abu bakar Lubis, Bagdja Nitidiwiria, Eri Sudewo, Ilen Surianegara, Sanjoto Sastromihardjo, Soedjatmoko, Soejono Martosewojo. Sjahrif Thajeb dan Tadjuddin. Mahasiswa-mahasiswa ini, juga memperlihatkan sikap anti Jepang secara terbuka ketika mereka menentang aksi penggundulan yang dikenakan pada mereka awal bulan Oktober.


Asrama Angkatan Baru (Menteng Raya 31)
Tempat ketiga adalah  Asrama Menteng Raya 31 Jakarta Pusat, dikenal dengan nama Asrama Angkatan Baru. Didirikan pada awal pendudukan Jepang oleh Sendenbu.
Pondokan mahasiswa Fakultas Kedokteran terletak di Jl. Menteng Raya 31  Jakarta Pusat. Dalam asrama ini bertempat tinggal mahasiswa-mahasiswa yang aktif bergerak di bawah tanah bersama kelompok bawah tanah lainnya. Anggotanya kebanyakan fasih berbahasa Belanda, mereka sangat dekat dengan Sutan Sjahrir yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Sjahrir. Dari asrama ini, tokoh muda yang cukup menonjol saat itu antara lain tokoh Johan Nur, Sayogo, Syarif Thayib, Darwis, Eri Sudewo, Chairul Saleh, kusnandar, Subadio Sastrosatomo, Wahidin Nasution, dan Tadjuddin. Dari kelompok bawah tanah ini, di kemudian hari muncul tokoh-tokoh yang berperan besar dalam mempererat proses proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pengurus asrama ini adalah Chaerul Saleh dan Sukarni yang dibantu A.M. Hanafi dan Ismail Widjaja. Keanggotaannya lebih longgar , untuk menjadi penghuni asrama ini harus ada jaminan dari orang yang telah tinggal di tempat iru sebelumnya. Asrama ini didirikan oleh H. Shimizu dengan tujuan menciptakan inti dari aktivitas pemuda yang kemudian dikembangkan untuk pengkaderan di daerah.
Kegiatan yang dilakukan adalah kursus yang berisi dasar-dasar nasionalisme yang kuat, sedangkan tenaga pengajarnya berasal dari kalangan nasionalis terkemuka sejak jaman pergerakan seperti Soekarno, Hatta, M. Yasin, Soenario dan Amir Sjarifuddin. Anggota-anggotanya banyak dari pemuda GERINDO seperti A.M. Hanafi dan Ismail Widjaja. Beberapa departemen didirikan yang salah satunya adalah departemen pemuda di bawah pimpinan Khalid Rasyidi.
Maksud pendirian asrama ini, adalah untuk menggembleng para pemuda menjadi alat Jepang. Tetapi banyak terjadi kemudian justru sebaliknya, yaitu secara ilegal digunakan sebagai markas gerakan penegakkan kembali semangat nasionalisme indonesia. Setelah kegiatan kursus selama 6 bulan, asrama ini ditutup dan mereka yang tinggal didalamnya menjadi angkatan pertama dan sekaligus terakhir. Anggota-anggotanya asrama ini juga dekat dengan Sjahrir. Mereka memiliki barisan muda, yang kemudian menajdi barisan banteng.
Salah satu arti penting lainnya adalah bahwa asrama ini dibentuk Gerakan Indoensia Merdeka (GERINDOM), ketika menyaksikan pembubaran PUTERA dan Djawa hokokai. Tindakan yang paling represif membuat para pemuda mengambil langkah dengan membentuk aksi-aksi bawah tanah. Yang teakhir adalah barisan pelopor istimewa (BPI) yang terdapat di jalan lapangan banteng timur. BPI di pimpin oleh Soekarno dan mempunyai 100 anggota, secara administrasi BPI ini berada dibawah Djawa Hokokai.

Walaupun terdapat berbagai tempat diatas, tidak berarti pemisahan tempat lantas menjadi pemisah kelompok. Untuk Asrama Prapatan 10, anggotanya terutama berhubungan dengan Sjahrir. Sedangkan Asrama Angkatan Baru Indonesia terdapat berbagai variasi seperti kita lihat adanya pembentukan GERINDOM, yang memiliki rencana-rencana politik tertentu  dan sebagian berasal dari kelompok Amir Sjarifuddin serta D.N. Aidit; adapula yang berasal dari pengikut Tan Malaka seperti Chaerul Saleh dan Sukarni. Pola lain dapat ditemukan pada Asrama Indoensia Merdeka yang anggotanya ada yang menjadi pengikut Sjahrir, Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin. Sulit untuk menetapkan bahwa bahwa suatu asrama hanya terdiri atas golongan tertentu saja, kecuali Asrama Parapatan 10.
Gerakan bawah tanah pada awal kedatangan Jepang dan dapat dikatakan yang terbesar adalah kelompok Amir. Berdiri beberapa minggu sebelum Jepang masuk. Melihat latar belakang Amir Sjarifuddin (dari GERINDOM, partai yang bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda dan ideologi anti fasis yang kental). Tidak aneh  bila Amir Sjarifuddin telah siap secara pribadi maupun organisasi. Untuk hal itu, konon ia menerima uang sejumlah 25.000 golden dan Ch. O. Van Der Plas sebagai biaya perjuangan bawah tanah. Kelompok Amir Sjarifuddin sebagai buah gerakan bawah tanah. Dalam arsip-arsip NEFIS :

Selama pendudukan Jepang, PKI menunjukan keaktifannya yang luar biasa; Lebih-lebih afdeling surabaya dari organisasi ini pada waktu itu adalah pusat aksi bawah tanah. Tujuan dari aksi ini hanya mendapat sebanyak mungkin orang-orang baik dari kota maupun dari desa. Slogan-slogan yang bagus lebih menyanjungi komunisme sebagaimana yang dicetak dalam selebaran-selebaran oleh para propagandis; Dimasukkan secara rahasia ke desa-desa, dibagi-bagi kepada sel-sel yang telah terbentuk”
(NEFIS)


Arsip ini menerangkan peranan kelompok Amir Sjarifuddin, yaitu :

Cara bagaimana propagandis itu bekerja, dimasukkan dalam program kerja yang terlebih dahulu disusun, dibuat oleh seorang penganjur Perkumpulan Komunis Indonesia (PKI) dari Afdeling Surabaya, Mr. Mohamad (Sic) Sharifoeddin, pada waktu ini menjadi anggota dari kabinet Indoensia. Sharifoedin ini telah menulis dua  buah brosur selama jaman Jepang, yang mana salah satunya diedarkan diantara anggota PKI ... pembicaraan itu berlaku didalam sebuah sel didalam penjara Ambarawa, dimana saja politik... Kenpeitai mengetahui akan aktifitas ini dan segeralah diakhiri dengan mengadakan razia diantara orang-orang PKI dengan itu banyak pemimpin dan anggota dilakukan penahanan”
( NEFIS )  

Sangat menarik bila kita kaji arsip ini, bagaimana Amir Sjarifuddin membentuk jaringan bawah tanah. Sementara dia ada dalam penjara waktu pendudukan Jepang. Dapat dikatakan Amir Sjarifuddin sedikitnya hanya penting sebagai seorang sebelum Perang Dunia II dan juga dia menghabiskan waktu dipenjara untuk aktifitas anti Jepangnya.
Kelompok yang dibentuk Amir Sjarifuddin ini adalah kelanjutan dari GERINDOM, dalam pengertian yang kira-kira sama seperti kelompok Sjahrir yang merupakan kelanjutan dari PNI-Baru masa pergerakan tahun 1930-an. Basis utama mereka ada di kota  Surabaya. Karena sikap mereka yang cukup militan, banyak diantaranya kemudian ditangkap lalu dipenjarakan. Tiga orang pengikut Amir Sjarifuddin yaitu, Sukajat, Pamudji, Abdul Aziz dan Abdurrachim di hukum mati. Sebenarnya Amir Sjarifuddin dikenakan hukuman yang sama, tapi Soekarno kemudian ikut campur dalam masalah ini sehingga hukumannnya diganti menjadi penjara seumur hidup. Pola seperti ini juga tidak dapat dikatakan sama antara satu kota dengan kota lainnya. Di Bandung, gerakan bawah tanah tidak berpusat di asrama-asrama melainkan cenderung bergantung pada tokoh-tokoh lama seperti M. Jusuf.
Berkaitan dengan adanya perbedaan yang mendasar dengan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Peretmuan-pertemuan gerakan bawah tanah dilakukan di tempat-tempat tertentu yang dirahasiakan. Di kota ini dapat dikatakan bahwa Sjahrir memiliki pengaruh yang cukup besar. Bukan berarti bahwa hanya kelompok itulah yang menjalankan kegaitan bawah tanah. Kurangnya data yang tersedia mengenai gerakan bawah tanah dikota ini membuat penulis sulit melihat adanya pola-pola yang dapat dikatakan sama seperti di Jakarta. Jarak yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dengan sendirinya memiliki pengaruh terhadap perkembangan gerakan di Bandung. jaringan Sjahrir di Bandung terdapat Sastra, Hamdani, Cucun dan Tobing.
Di Yogyakarta, pola yang berjalan agak mirip dengan apa yang ada di Bandung. Basis gerakan bawah tanah, khususnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seperti rapat, diskusi Dan pertemuan diadakan di rumah-rumah. Jaringan Sjahrir yang berada di kota ini dikenal dengan sebutan ”Phatook” karena tempat berkumpul mereka di daerah Pathook. Wiyono, Sugiono Josodiningrat, dan lain-lain melakukan kegiatan dikota tersebut. Golongan kiri yang akan dibicarakan disini sulit untuk ditempatkan kedalam kerangka partai tertentu, karena ternyata sikap dan reaksi mereka terhadap pendudukan Jepang pun berbeda-beda. Secara umum perlawanan terhadap pemerintahan militer Jepang, telah disusun sejak awal kedatangan ke Jawa. Pembicaraan mengenai akan runtuhnya kekuasaan kolonial telah menjadi bahan yang sangat menarik mereka yang terlibat dalam aktivitas politik. Pada bulan Mei, ketika Hitler beserta pasukannya menduduki Belanda, sejumlah tokoh dari berbagai golongan bertemu di sebuah rumah di daerah Rawamangun Jakarta yang sebelumnya telah dipersiapkan seorang buruh pelabuhan. Didalam pertemuan tersebut hadir Pamudji seorang tokoh PKI, Subekti dan Atmadji dari GERINDOM, Sujoko yang tergabung dalam Barisan Rakyat yang didirikan di Solo, Armunanto dari Persatuan Sopir Indonesia (PERSI) di Sukabumi, Widarta seoarng komunis yang mewakili Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), Kyai Mustofa sebagai wakil golongan alim ulama, dan Liem Hun Hian seorang peranakan Cina.
Dalam pertemuan tersebut mereka membicarakan perkembangan Politik dan melihat kenyataan bahwa Hindia Belanda tidak akan sanggup menghadapi ancaman fasisme Jepang. Bahaya fasisme sesungguhnya bukan hal baru bagi para aktivis politik. Salah satu salurannya adalah PKI Ilegal yang disusun kembali oleh Muso pada tahun 1935. Muso sebagai tokoh komunis yang berhubungan erat dengan komintern membawa serta gagasan organisasi ini tentang pembentukan Front Demokrasi melawan fasisme atau dikenal juga denga istilah Garis Dimitrov.
Informasi mengenai bahaya fasisme ini, untuk golongan kiri antara lain diperoleh melalui penerbitan ”Menara Merah” dikelola oleh Pamudji. Diskusi-diskusi dan rapat juga merupakan sumber informasi yang sangat berharga. Akhir dari pertemuan ini adalah pembentukan Gerakan Rakyat Anti Fasis (GERAF). Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, tokoh-tokoh yang disebutkan diatas kemudian melakukan pertemuan di daerah Sukabumi Jawa Barat. Tempat kediaman Dr. Tjipto Mangoenkusumo, dengan tambahan beberapa orang lainnya seperti Djokosujono, Dr. Ismail, Mr. Hendromartono, Mr. Amir Sjarifuddin dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Mereka kemudian membentuk suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari Mr. Amir Sjarifuddin, Pamudji, Sukajat dengan Sekretaris terdiri atas Armunanto dan Widarta. Dr. Tjipto Mangoenkusumo sendiri diangkat menjadi penasehat Gerakan Rakyat Anti Fasis (GERAF).
Dalam perkembangan kemudian, Jepang mulai memperlihatkan tindakan represif mereka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Seiring dengan itu, mulai bermunculan kelompok-kelompok perlawanan di berabgai kota di Jawa. Di Bandung, muncul gerakan yang menamakan diri Djojobojo dibawah pimpinan Mr. Muhammad Yusuf. Gerakan ini coba menggabungkan gagasan-gagasan revolusioner dan paham-paham mistis tertentu, yang didasarkan atas ramalan Jayabaya. Gerakan ini berpusat di Bandung, dan kemudian meluas sayapnya ke dataran pantai di sekitar Indramayu dan Cirebon. Anggotanya kebanyakan orang-orang komunis lokal. Gerakan ini memiliki hubungan erat dengan kelompok anti fasis yang dipimpin Mr. Soeprapto dan tidak lama kemudian berhasil ditumpas Kenpeitai. Puluhan orang anggotanya ditangkap dan dimasukan penjara serta tiga orang lainnya seperti Widjaja, Lukman dan Tas’an dihukum mati.
Akhirnya ada pertanyaan yang menarik mengapa pada saat sebagian besar kekuatan dapat dimobilisasi oleh pendudukan Jepang dengan perkataan dikooptasi justru munculnya gerakan yang berlawanan dengan arus tadi?. Pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan lain, yaitu mengenai motif para tokoh gerakan tersebut dalam melakukan kegaitan-kegiatan perlawanannya. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dikaitkan dengan perkembangan politik di Hindia Belanda sebelum tentara Jepang datang. Seperti telah diuraikan diatas, pada masa itu hampir semua organisasi pemuda dapat dikatakan bersifat revolusioner. Hal ini berkaitan dengan adanya pengaruh dari gagasan-gagasan para tokoh yang telah dulu mengambil peran di atas panggung politik.
Pola gerakan bawah tanah yang disebutkan dimuka, memiliki perbedaan satu sama lain, sehingga tidak bisa dibuat sebuah generalisasi atasnya. Hal yang sangat penting juga untuk diperhatikan adalah peranan pada tingkat lokal, terutama dalam kaitannya dengan pemerintah pendudukan Jepang. Dengan berkuasanya Gunseikanbu secara langsung di Jakarta, maka tidak adanya bentuk kegiatan yang militan sifatnya seperti sabotase jaringan kereta api, latihan-latihan militer dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa seperti ini yang banyak terdapat diwilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, merupakan sesuatu yang juga sangat diperhatikan oleh kelompok-kelompok gerakan bawah tanah di Jakarta.

Tidak ada komentar: