Usaha-usaha untuk mencapai
tujuan Indonesia merdeka dibutuhkan adanya pengakuan secara resmi dari pihak
lain. Pada awal pendudukan Jepang, melakukan kegiatan politik yang legal
menjadi persoalan kalangan kebangsaan. Untuk mencapai Indonesia merdeka tetap
harus dilanjtkan walaupun hanya sebatas hasil rapat secara lisan tidak tertulis
pada waktu itu. Masalah utama yang dibicarakan pada waktu itu adalah bagaimana
usaha tersebut harus dilakukan? Hal tersebut menjadi awal pemikiran kalangan
kebangsaan.
Terdapat dua pandangan yang
dianut kalangan kebangsaan pada waktu itu. Pertama, mereka yang
berpandangan bahwa usaha-usaha kebangsaan perlu dilanjutkan melalui kerjasama
dengan Jepang. Kedua, bahwa usaha
tersebut harus dilakukan tanpa kerjasama dengan Jepang. Bagi mereka yang
menganut kerjasama dengan Jepang, menganggap bahwa musuh utama bukan Jepang
melainkan Belanda. Karena itu lebih baik kerjasama dengan Jepang. Pandangan ini
banyak dianut kalangan kebangsaan yang berasal dari PARINDRA, partai yang ada
pada masa pergerakan.
Soekarno, Hatta dan kalangan
kebangsaan terkemuka diantaranya menganut pandangan yang pro sama Jepang.
Sebagai akibatnya, mereka kemudian ditarik untuk menduduki lembaga yang
dibentuk pemerintah pendudukan Jepang seperti PUTERA atau Jawa Hokokai. Mereka
juga mempengaruhi pemuda Indonesia untuk masuk lembaga yang dibentuk oleh
Jepang. Bagi mereka yang menolak kerjasama dengan Jepang, menganggap musuh yang
utama bukan Belanda, melainkan Jepang. Pandangan ini melihat konflik yang ada
secara internasional antara fasis melawan demokrasi.
Bagi mereka kekuatan yang
harus didukung adalah demokrasi dan karena Jepang dianggap termasuk fasis,
mereka menolak bekerjasama dengan Jepang. Pandangan ini diantaranya dianut oleh
Sjahrir, kalangan muda dan kalangan nasionalis lokal atau daerah. Sebagai
akibat pilihan itu mereka menolak masuk ke dalam lembaga yang dibentuk Jepang.
Kalaupun mereka masuk, tujuannnya untuk mempengaruhi pemuda-pemuda. Mereka yang
menganut pandangn ini yang kemudian banyak terlibat dengan gerakan bawah tanah.
Strategi ini bagi mereka merupakan yang terbaik untuk melanjutkan usaha-usaha
untuk mencapai kemerdekaan.
Pada waktu itu, dalam
menjalankan pemerintahannya Jepang hanya meneruskan apa yang telah dilakukan
pemerintah Hindia Belanda sebelumnya, dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat
pemerintahan. Dengan adanya kebijakan ini, kekuatan militer hampir secara
dominan berada di Jakarta. Kuatnya pengawasan militer ini mengakibatkan
bentuk-bentuk gerakan bawah tanah yang muncul di Jakarta agak berbeda dengan
apa yang muncul di tempat-tempat lain di Pulau Jawa.
Kalangan yang menolak
kerjasama dengan Jepang yaitu kelompok Sjahrir, yang berpusat di Jakarta.
Kelompok ini merupakan kelanjutan dari PNI-Baru yang telah hadir di panggung
politik sejak tahun 1930-an. Beberapa orang dari PNI-Baru seperti Dr. Sudarsono
dan Sugra di Cirebon; Cucun, Rusni dan Tobing di Bandung; Wijono dan Sugiono
Yosodiningrat di Yogyakarta; Djohan Sjahroezah.
Aktivitas utama dari kelompok ini adalah
merekrut orang-orang dari kalangan terdidik, misalnya mahasiswa-mahasiswa dari
sekolah kedokteran dan sekolah hukum. Kelompok yang terbentuk kemudian inilah
yang dikenal sebagai gerakan bawah tanah pada masa pendudukan Jepang. Diskusi
menjadi salah satu kegiatan penting dalam kelompok ini, melalui
pertemuan-pertemuan yang mereka adakan.
Kemudian terbentuk
kelompok-kelompok jaringan yang terbentuk karena mendengarkan radio siaran luar
negeri, hal yang sangat terlarang di masa pendudukan Jepang. Mereka menyebarkan
informasi tentang jalannya perang dan situasi internasional ke berbagai kota di
Jawa. Berita-berita perang selalu di dengar sendiri oleh Sjahrir melalui radio
gelap yang dimilikinya, dan dibuatnya ringkasan yang setiap hari diteruskannya
kepada Hatta dan Soekarno. Kemudian ternyata Soekarno lebih mempercayai berita
propaganda Jepang dari pada berita yang didapat dari siaran radio sekutu. Perlu
diketahui bahwa pada waktu itu, semua pesawat radio disegel oelh penguasa
Jepang agar tidak dapat dipergunakan untuk mendengarkan siaran-siaran dari luar
negeri. Tiap orang yang tertangkap memiliki pesawat radio yang tidak disegel
dan mendengarkan radio luar negeri pasti disiksa dan menghadapi kemungkinan
ancaman hukuman mati.
Sjahrir bersama kelompoknya
sering membahas soal-soal yang bersangkutan dengan keadaan perang pada umumnya,
keadaan dalam negeri dan bagaimana mencapai tujuan Indonesia merdeka. Seperti
apa yang kita lihat sebagai kelompok Sjahrir, itu juga dari berbagai kota dan tentunya untuk melakukan
komunikasi dibangun jaringan-jaringan didalam kota dan antar kota. Jaringan yang
terbentuk secara informal ini sebenarnya bukan hal yang baru muncul pada jaman
pendudukan Jepang. Hubungan antara anggota-anggota PNI-Baru yang membentuk Study
Group di masing-masing kota tetap
berjalan, sehingga dimungkinkan adanya komunikasi satu sama lain. Ketika Jepang
masuk, hubungan yang telah terjalin ini tetap dipertahankan walau harus
dilakukan secara rahasia. Karena tidak semua diantara mereka dapat mengumpulkan
informasi, maka kebutuhan untuk tetap berhubungan pun muncul, disamping memang
adanya kontinuitas dalam hubungan mereka sejak jaman pergerakan.
Pada masa pendudukan, tindakan
pemerintah militer Jepang sangat represif. Jaringan mata-mata Kenpeitai merupakan momok bagi mereka yang aktif dalam
politik. Sulit diduga siapa saja yang menjadi mata-mata pada saat itu. Menurut
beberapa kesaksian bahkan ada wanita penghibur yang menjadi mata-mata yang
dikenal dengan sebutan ”kipas hitam”. Hal ini menimbulkan semacam
kekhawatiran tertentu terhadap pengawasan mata-mata. Kecurigaan terhadap satu sama
lain dengan sendirinya menebar ketika melakukan aktivitas-aktivitas yang
mengandung resiko. Dalam menjalankan hubungan di dalam kota dan antar kota pun
diperlukan sikap hati-hati. Antara golongan yang satu dengan golongan yang lain
sering terdapat salah sangka, takut kalau-kalau diantara mereka sebenarnya
dipergunakan oleh Jepang untuk memata-matai golongan-golongan pemuda yang lain
dan melaporkannya kepada Jepang.
Waktu itu ada beberapa
kelompok di tangkap kenpeitai sesudah pemogokan mahasiswa. Dikalangan
mahasiwa pun terdapat banyak cecunguk yang melaporkan segala bentuk aktivitas kepada
kenpeitai. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam mencari
hubungan dengan golongan lain, melalui satu atau dua orang yang bisa dipercaya.
Istilah cecunguk ini
merupakan sebutan bagi mata-mata yang melaporkan kegaitan rapat-rapat atau
pertemuan yang diselenggarakan oleh kalangan nasionalis kepada pemerintah
pendudukan Jepang.
Asrama
Indonesia Merdeka (Kebon Sirih 80)
Salah satu tempat yang di isi
oleh mahasiswa-mahasiswa dari kelompok Sjahrir adalah Asrama Indonesia
Merdeka yang terletak di jalan Kebon Sirih 80 Jakarta Pusat.
Didirikan oleh kantor penghubung angkatan laut (bukanfu). Dengan memberi
pendidikan di tempat yang didirikan oleh Jepang, Sjahrir dapat menghilangkan
jejak keterlibatannya dalam gerakan bawah tanah. Mata pelajaran yang diberikan
pada mahasiswa-mahasiwa di Asrama Indonesia Merdeka, secara khusus
berbeda dengan yang diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa lainnya. Bahan-bahan
dalam pendidikan cenderung lebih praktis sifatnya, dan dalam kaitannya dengan
gagasan Indonesia merdeka, yang meliputi :
-
Sejarah pergerakan nasional
-
Prinsip nasionalisme dan
demokrasi
-
Perburuhan dan pergerakan kaum
muda
-
Masalah-masalah pertanian.
Disamping Sjahrir, pengajar
lainnya adalah Hatta, Soebardjo, Wikana, Sudiro, Iwa Kusuma Sumantri, dan
lain-lain. Keanggotaan dalam kelompok ini relatif lebih longgar sifatnya.
Anggotanya sekitar 30 orang dan sebagian besar berasal dari Jakarta. Pimpinan
kelompok ini berada ditangan Ahmad Soebardjo dan Wikana dengan bantuan Samsudi.
Tujuan asrama ini melatih para pemuda seluruh Jawa. Pihak Jepang sendiri (Koigun)
melalui orang-orang seperti Yoshizumi dan Nishijimo berusaha mempengaruhi
anggota-anggota asrama untuk berpihak kepada Jepang, tetapi usaha ini tidak
berkasil karena kuatnya semangat anti fasis dari anggota-anggotanya.
Asrama
Prapatan 10
Disamping itu ada sebuah asrama yang terletak di Jalan
Prapatan 10 Jakarta Pusat. Asrama ini sebagian besar di huni oleh mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran (Ikadaigakku). Asrama yang disebut pertama
mulai aktif bersamaan dengan dibukanya kembali Sekolah Kedokteran yang
merupakan perguruan tinggi satu-satunya yang diizinkan oleh pemerintah
pendudukan Jepang, tepatnya dibuka pada awal tahun 1943. Dengan melihat Ikadaigakku
sebagai pemilik asrama, ada beberapa hal yang menarik.
Pertama, yang
menjadi anggotanya hanya mahasiswa kedokteran. Hal ini berarti menutup
kemungkinan untuk menarik anggota yang lebih luas. Kedua, di asrama ini
terdapat dua kelompok, yaitu mereka yang mempunyai perhatian terhadap
masalah-masalah diluar bidang studi kedokteran dan mereka yang hanya melulu
belajar agar dapat dengan cepat menyelesaikan pendidikan. Dari kelompok yang
disebutkan pertama, juga terdapat dua bagian. Pertama, mereka yang benar-benar
memiliki perhatian terhadap masalah-masalah kalangan kebangsaan untuk mencapai
tujuan Indonesia merdeka. Kedua, mereka yang kelihatannya memiliki perhatian
tapi sebetulnya tidak. Orang-orang yang terakhir ini melibatkan dengan mereka
yang memiliki perhatian terhadap masyarakat, bukan untuk kepentingan kaum
kebangsaan, melainkan untuk kepentingan Jepang. Mereka sengaja disusupkan atau
sengaja berhubungan dengan pemerintah pendudukan Jepang yang tujuannnya adalah
mencari informasi mengenai kegiatan dari kalangan kebangsaan.
Penghuni asrama masa
pendudukan Jepang adalah Abu bakar Lubis, Bagdja Nitidiwiria, Eri Sudewo, Ilen
Surianegara, Sanjoto Sastromihardjo, Soedjatmoko, Soejono Martosewojo. Sjahrif
Thajeb dan Tadjuddin. Mahasiswa-mahasiswa ini, juga memperlihatkan sikap anti
Jepang secara terbuka ketika mereka menentang aksi penggundulan yang dikenakan
pada mereka awal bulan Oktober.
Tempat ketiga adalah Asrama Menteng Raya 31 Jakarta Pusat, dikenal
dengan nama Asrama Angkatan Baru. Didirikan pada awal pendudukan Jepang
oleh Sendenbu.
Pondokan mahasiswa Fakultas
Kedokteran terletak di Jl. Menteng Raya 31
Jakarta Pusat. Dalam asrama ini bertempat tinggal mahasiswa-mahasiswa
yang aktif bergerak di bawah tanah bersama kelompok bawah tanah lainnya. Anggotanya
kebanyakan fasih berbahasa Belanda, mereka sangat dekat dengan Sutan Sjahrir
yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Sjahrir. Dari asrama ini, tokoh muda
yang cukup menonjol saat itu antara lain tokoh Johan Nur, Sayogo, Syarif
Thayib, Darwis, Eri Sudewo, Chairul Saleh, kusnandar, Subadio Sastrosatomo,
Wahidin Nasution, dan Tadjuddin. Dari kelompok bawah tanah ini, di kemudian
hari muncul tokoh-tokoh yang berperan besar dalam mempererat proses proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pengurus asrama ini adalah
Chaerul Saleh dan Sukarni yang dibantu A.M. Hanafi dan Ismail Widjaja.
Keanggotaannya lebih longgar , untuk menjadi penghuni asrama ini harus ada
jaminan dari orang yang telah tinggal di tempat iru sebelumnya. Asrama ini
didirikan oleh H. Shimizu dengan tujuan menciptakan inti dari aktivitas pemuda
yang kemudian dikembangkan untuk pengkaderan di daerah.
Kegiatan yang dilakukan adalah
kursus yang berisi dasar-dasar nasionalisme yang kuat, sedangkan tenaga
pengajarnya berasal dari kalangan nasionalis terkemuka sejak jaman pergerakan
seperti Soekarno, Hatta, M. Yasin, Soenario dan Amir Sjarifuddin. Anggota-anggotanya
banyak dari pemuda GERINDO seperti A.M. Hanafi dan Ismail Widjaja. Beberapa
departemen didirikan yang salah satunya adalah departemen pemuda di bawah
pimpinan Khalid Rasyidi.
Maksud pendirian asrama ini,
adalah untuk menggembleng para pemuda menjadi alat Jepang. Tetapi banyak
terjadi kemudian justru sebaliknya, yaitu secara ilegal digunakan sebagai
markas gerakan penegakkan kembali semangat nasionalisme indonesia. Setelah
kegiatan kursus selama 6 bulan, asrama ini ditutup dan mereka yang tinggal
didalamnya menjadi angkatan pertama dan sekaligus terakhir. Anggota-anggotanya
asrama ini juga dekat dengan Sjahrir. Mereka memiliki barisan muda, yang
kemudian menajdi barisan banteng.
Salah satu arti penting
lainnya adalah bahwa asrama ini dibentuk Gerakan Indoensia Merdeka (GERINDOM),
ketika menyaksikan pembubaran PUTERA dan Djawa hokokai. Tindakan yang
paling represif membuat para pemuda mengambil langkah dengan membentuk
aksi-aksi bawah tanah. Yang teakhir adalah barisan pelopor istimewa
(BPI) yang terdapat di jalan lapangan banteng timur. BPI di pimpin oleh
Soekarno dan mempunyai 100 anggota, secara administrasi BPI ini berada dibawah Djawa
Hokokai.
Walaupun terdapat berbagai
tempat diatas, tidak berarti pemisahan tempat lantas menjadi pemisah kelompok.
Untuk Asrama Prapatan 10, anggotanya terutama berhubungan dengan Sjahrir.
Sedangkan Asrama Angkatan Baru Indonesia terdapat berbagai variasi seperti kita
lihat adanya pembentukan GERINDOM, yang memiliki rencana-rencana politik
tertentu dan sebagian berasal dari
kelompok Amir Sjarifuddin serta D.N. Aidit; adapula yang berasal dari pengikut
Tan Malaka seperti Chaerul Saleh dan Sukarni. Pola lain dapat ditemukan pada Asrama
Indoensia Merdeka yang anggotanya ada yang menjadi pengikut Sjahrir, Tan
Malaka dan Amir Sjarifuddin. Sulit untuk menetapkan bahwa bahwa suatu asrama
hanya terdiri atas golongan tertentu saja, kecuali Asrama Parapatan 10.
Gerakan bawah tanah pada awal
kedatangan Jepang dan dapat dikatakan yang terbesar adalah kelompok Amir.
Berdiri beberapa minggu sebelum Jepang masuk. Melihat latar belakang Amir Sjarifuddin
(dari GERINDOM, partai yang bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda dan
ideologi anti fasis yang kental). Tidak aneh
bila Amir Sjarifuddin telah siap secara pribadi maupun organisasi. Untuk
hal itu, konon ia menerima uang sejumlah 25.000 golden dan Ch. O. Van Der Plas
sebagai biaya perjuangan bawah tanah. Kelompok Amir Sjarifuddin sebagai buah
gerakan bawah tanah. Dalam arsip-arsip NEFIS :
“Selama pendudukan Jepang, PKI
menunjukan keaktifannya yang luar biasa; Lebih-lebih afdeling surabaya dari
organisasi ini pada waktu itu adalah pusat aksi bawah tanah. Tujuan dari aksi
ini hanya mendapat sebanyak mungkin orang-orang baik dari kota maupun dari desa.
Slogan-slogan yang bagus lebih menyanjungi komunisme sebagaimana yang dicetak
dalam selebaran-selebaran oleh para propagandis; Dimasukkan secara rahasia ke
desa-desa, dibagi-bagi kepada sel-sel yang telah terbentuk”
(NEFIS)
Arsip ini menerangkan peranan
kelompok Amir Sjarifuddin, yaitu :
“Cara bagaimana propagandis itu
bekerja, dimasukkan dalam program kerja yang terlebih dahulu disusun, dibuat
oleh seorang penganjur Perkumpulan Komunis Indonesia (PKI) dari Afdeling
Surabaya, Mr. Mohamad (Sic) Sharifoeddin, pada waktu ini menjadi anggota dari
kabinet Indoensia. Sharifoedin ini telah menulis dua buah brosur selama jaman Jepang, yang mana
salah satunya diedarkan diantara anggota PKI ... pembicaraan itu berlaku
didalam sebuah sel didalam penjara Ambarawa, dimana saja politik... Kenpeitai
mengetahui akan aktifitas ini dan segeralah diakhiri dengan mengadakan razia
diantara orang-orang PKI dengan itu banyak pemimpin dan anggota dilakukan
penahanan”
( NEFIS )
Sangat menarik bila kita kaji
arsip ini, bagaimana Amir Sjarifuddin membentuk jaringan bawah tanah. Sementara
dia ada dalam penjara waktu pendudukan Jepang. Dapat dikatakan Amir Sjarifuddin
sedikitnya hanya penting sebagai seorang sebelum Perang Dunia II dan juga dia
menghabiskan waktu dipenjara untuk aktifitas anti Jepangnya.
Kelompok yang dibentuk Amir
Sjarifuddin ini adalah kelanjutan dari GERINDOM, dalam pengertian yang
kira-kira sama seperti kelompok Sjahrir yang merupakan kelanjutan dari PNI-Baru
masa pergerakan tahun 1930-an. Basis utama mereka ada di kota Surabaya. Karena sikap mereka yang cukup
militan, banyak diantaranya kemudian ditangkap lalu dipenjarakan. Tiga orang
pengikut Amir Sjarifuddin yaitu, Sukajat, Pamudji, Abdul Aziz dan Abdurrachim
di hukum mati. Sebenarnya Amir Sjarifuddin dikenakan hukuman yang sama, tapi
Soekarno kemudian ikut campur dalam masalah ini sehingga hukumannnya diganti
menjadi penjara seumur hidup. Pola seperti ini juga tidak dapat
dikatakan sama antara satu kota dengan kota lainnya. Di Bandung, gerakan bawah
tanah tidak berpusat di asrama-asrama melainkan cenderung bergantung pada
tokoh-tokoh lama seperti M. Jusuf.
Berkaitan dengan adanya
perbedaan yang mendasar dengan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Peretmuan-pertemuan
gerakan bawah tanah dilakukan di tempat-tempat tertentu yang dirahasiakan. Di
kota ini dapat dikatakan bahwa Sjahrir memiliki pengaruh yang cukup besar.
Bukan berarti bahwa hanya kelompok itulah yang menjalankan kegaitan bawah
tanah. Kurangnya data yang tersedia mengenai gerakan bawah tanah dikota ini
membuat penulis sulit melihat adanya pola-pola yang dapat dikatakan sama
seperti di Jakarta. Jarak yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dengan
sendirinya memiliki pengaruh terhadap perkembangan gerakan di Bandung. jaringan
Sjahrir di Bandung terdapat Sastra, Hamdani, Cucun dan Tobing.
Di Yogyakarta, pola yang
berjalan agak mirip dengan apa yang ada di Bandung. Basis gerakan bawah tanah,
khususnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seperti rapat, diskusi Dan
pertemuan diadakan di rumah-rumah. Jaringan Sjahrir yang berada di kota ini
dikenal dengan sebutan ”Phatook” karena tempat berkumpul mereka di
daerah Pathook. Wiyono, Sugiono Josodiningrat, dan lain-lain melakukan kegiatan
dikota tersebut. Golongan kiri yang akan dibicarakan disini sulit untuk ditempatkan
kedalam kerangka partai tertentu, karena ternyata sikap dan reaksi mereka
terhadap pendudukan Jepang pun berbeda-beda. Secara umum perlawanan terhadap
pemerintahan militer Jepang, telah disusun sejak awal kedatangan ke Jawa.
Pembicaraan mengenai akan runtuhnya kekuasaan kolonial telah menjadi bahan yang
sangat menarik mereka yang terlibat dalam aktivitas politik. Pada bulan Mei,
ketika Hitler beserta pasukannya menduduki Belanda, sejumlah tokoh dari
berbagai golongan bertemu di sebuah rumah di daerah Rawamangun Jakarta yang
sebelumnya telah dipersiapkan seorang buruh pelabuhan. Didalam pertemuan
tersebut hadir Pamudji seorang tokoh PKI, Subekti dan Atmadji dari GERINDOM,
Sujoko yang tergabung dalam Barisan Rakyat yang didirikan di Solo, Armunanto
dari Persatuan Sopir Indonesia (PERSI) di Sukabumi, Widarta seoarng komunis
yang mewakili Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (PERPRI), Kyai Mustofa sebagai
wakil golongan alim ulama, dan Liem Hun Hian seorang peranakan Cina.
Dalam pertemuan tersebut
mereka membicarakan perkembangan Politik dan melihat kenyataan bahwa Hindia
Belanda tidak akan sanggup menghadapi ancaman fasisme Jepang. Bahaya fasisme
sesungguhnya bukan hal baru bagi para aktivis politik. Salah satu salurannya
adalah PKI Ilegal yang disusun kembali oleh Muso pada tahun 1935. Muso sebagai
tokoh komunis yang berhubungan erat dengan komintern membawa serta gagasan
organisasi ini tentang pembentukan Front Demokrasi melawan fasisme atau dikenal
juga denga istilah Garis Dimitrov.
Informasi mengenai bahaya
fasisme ini, untuk golongan kiri antara lain diperoleh melalui penerbitan ”Menara
Merah” dikelola oleh Pamudji. Diskusi-diskusi dan rapat juga merupakan
sumber informasi yang sangat berharga. Akhir dari pertemuan ini adalah
pembentukan Gerakan Rakyat Anti Fasis (GERAF). Ketika pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang, tokoh-tokoh yang disebutkan diatas kemudian melakukan
pertemuan di daerah Sukabumi Jawa Barat. Tempat kediaman Dr. Tjipto
Mangoenkusumo, dengan tambahan beberapa orang lainnya seperti Djokosujono, Dr.
Ismail, Mr. Hendromartono, Mr. Amir Sjarifuddin dan Dr. Tjipto Mangunkusumo.
Mereka kemudian membentuk suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari Mr. Amir
Sjarifuddin, Pamudji, Sukajat dengan Sekretaris terdiri atas Armunanto dan
Widarta. Dr. Tjipto Mangoenkusumo sendiri diangkat menjadi penasehat Gerakan
Rakyat Anti Fasis (GERAF).
Dalam perkembangan kemudian,
Jepang mulai memperlihatkan tindakan represif mereka, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Seiring dengan itu, mulai bermunculan kelompok-kelompok
perlawanan di berabgai kota di Jawa. Di Bandung, muncul gerakan yang menamakan
diri Djojobojo dibawah pimpinan Mr. Muhammad Yusuf. Gerakan ini coba
menggabungkan gagasan-gagasan revolusioner dan paham-paham mistis tertentu, yang
didasarkan atas ramalan Jayabaya. Gerakan ini berpusat di Bandung, dan kemudian
meluas sayapnya ke dataran pantai di sekitar Indramayu dan Cirebon. Anggotanya
kebanyakan orang-orang komunis lokal. Gerakan ini memiliki hubungan erat dengan
kelompok anti fasis yang dipimpin Mr. Soeprapto dan tidak lama kemudian
berhasil ditumpas Kenpeitai. Puluhan orang anggotanya ditangkap dan
dimasukan penjara serta tiga orang lainnya seperti Widjaja, Lukman dan Tas’an
dihukum mati.
Akhirnya ada pertanyaan yang
menarik mengapa pada saat sebagian besar kekuatan dapat dimobilisasi oleh
pendudukan Jepang dengan perkataan dikooptasi justru munculnya gerakan yang
berlawanan dengan arus tadi?. Pertanyaan ini akan memunculkan pertanyaan lain,
yaitu mengenai motif para tokoh gerakan tersebut dalam melakukan
kegaitan-kegiatan perlawanannya. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus
dikaitkan dengan perkembangan politik di Hindia Belanda sebelum tentara Jepang
datang. Seperti telah diuraikan diatas, pada masa itu hampir semua organisasi
pemuda dapat dikatakan bersifat revolusioner. Hal ini berkaitan dengan adanya
pengaruh dari gagasan-gagasan para tokoh yang telah dulu mengambil peran di
atas panggung politik.
Pola gerakan bawah tanah yang
disebutkan dimuka, memiliki perbedaan satu sama lain, sehingga tidak bisa
dibuat sebuah generalisasi atasnya. Hal yang sangat penting juga untuk
diperhatikan adalah peranan pada tingkat lokal, terutama dalam kaitannya dengan
pemerintah pendudukan Jepang. Dengan berkuasanya Gunseikanbu secara
langsung di Jakarta, maka tidak adanya bentuk kegiatan yang militan sifatnya
seperti sabotase jaringan kereta api, latihan-latihan militer dan sebagainya.
Peristiwa-peristiwa seperti ini yang banyak terdapat diwilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur, merupakan sesuatu yang juga sangat diperhatikan oleh
kelompok-kelompok gerakan bawah tanah di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar