”Wij sluiten nu. Vaarwel tot
betere tijden. Lang
leve de kiningin”.
(Siaran
Radio NIROM)
Yang artinya; “kita berhenti sampai disini. Sampai jumpa
di hari-hari yang lebih baik. Hidup
Ratu”
Siaran Radio NIROM ini dilakukan pada Senin 8 Maret 1942,
kata-kata diatas mengakhiri pengumuman penyerahan pihak Hindia Belanda terhadap
tuntutan Jepang dan secara simbolis menandai berakhirnya kekuasaan negera
kolonial ditanah jajahannya, dan sekaligus sebuah periode sejarah yang
berlangsung lama. Jika diamati sepintas, memang mengherankan bahwa negara
Hindia Belanda dengan cepat menyerah kepada tentara Jepang.
Tahun 1940-1941 Jepang telah mendapatkan hasil gemilang
lagi di Indocina, yakni membuat Amerika Serikat dan negara-negara lain
membekukan kegiatan financial Jepang di Amerika dan mengadakan embargo terhadap
barang-barang dagangan Jepang. Selain
itu, kekuatan kaum komunis juga merasakan perkembangan militer Jepang sebagai
ancaman sehingga pada tahun 1935 mereka telah membentuk gerakan anti fasisme
dalam kongres komintern di New Delhi. Sebagai jawaban terhadap pembentukan
front ini, Jepang bersama Jerman dan Italia membentuk anti Komintern Pact.
Pada bulan September 1940, Persekutuan ketiga negara ini makin diperkokoh
melalui pembentukan Tri Partie Pact yang pada dasarnya bertujuan
membentuk pakta militer untuk menghentikan intervensi Amerika serikat, baik
diwilayah Asia maupun Eropa.
Embargo ekonomi yang dilakukan terhadap Jepang, antara
lain ikut menentukan keputusan Jepang untuk mengumumkan perang. Terutama ketika
Hindia Belanda yang menjadi sumber perolehan minyak juga ikut memberlakukan
embargo, sehingga jalur perolehan minyak seketika terhambat. Demikian pula
halnya dengan bahan-bahan mentah lainnya, seperti timah dan karet yang sangat
penting untuk perkembangan industrinya. Pada tanggal 20 Mei 1940, tidak lama
setelah negeri Belanda mendapat serangan dari tentara Jerman, pemerintah Jepang
mengirim pesan khusus kepada pemerintah Hindia Belanda agar tetap mengekspor bahan-bahan mentah
tersebut.
Keputusan Jepang untuk terlibat dalam perang pasifik
diambil dalam konferensi Kemaharajaan pada tanggal 2 Juli 1941 yang dihadiri
oleh pejabat tinggi Jepang. Gagasan yang sangat mendasar dari Konferensi ini
adalah pembentukan “Lingkungan kemakmuran bersama Asia
Timur Raya dan perdamaian dunia”. Dengan adanya legitimasi konsep seperti
ini, Jepang tidak melihay serangan tetapi lebih sebagai usaha invasi apalagi
penjajahan, tapi lebih sebagai usaha pembebasan wilayah-wilayah yang dikuasai
musuh. Gagasan “Pembebasan bangsa Asia” ini kemudian
mendapat sambutan cukup luas dikalangan rakyat. Keputusan perang akhirnya
diambil tanggal konferensi penghubung yang kemudian disahkan dalam konferensi
kemaharajaan pada tanggal 1 Desember 1941.
Dengan demikian telah tersusun alasan
serta usaha Jepang untuk melakukan penyerbuan terhadap wilayah Selatan Asia.
Genderang perang dibunyikan, dalam sekejap lautan tentara berkulit kuning
langsat dan berani Harakiri serta Kamikaze merambah satu persatu
daratan Asia. Sejak awal tahun 1942, kekuatan Belanda di Jawa telah digempur
oleh pasukan Jepang. Selama bulan Februari Jepang melakukan serangan-serangan
terhadap kota Surabaya. Sementara itu kekuatan Jepang juga melebarkan sayapnya
dari Malaya menuju Sumatera dan pada tanggal 16 Februari 1942 telah berhasil
menguasai Palembang. Pangkalan-pangkalan minyak dengan demikian berhasil
dikuasai, sehingga Belanda terpaksa menggunakan pangkalan Cepu sebagai
satu-satunya sumber minyak yang masih tersedia.
Pulau Sulawesi dan Kalimantan telah
berhasil diduduki pada bulan Februari 1942. Hal ini mengingat penjagaan yang
tidak terlalu ketat dari tentara kolonial dikedua wilayah tersebut. Penguasaan
terhadap bagian Selatan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi ini dengan sendirinya
menjadikan ancaman strategi terhadap Jawa, terutama Batavia (Jakarta), yang
terkepung dari tiga arah. Kekuatan udara Jepang yang digerakkan dari Singapura
pada saat yang sama telah sepenuhnya berkuasa. Pada tanggal 27 Februari 1942,
Belanda menyaksikan kehadiran kapal-kapal tempur Jepang dan di sore hari tepat
pukul 16.16 WIB kapal-kapal Jepang membuka tembakan. Pertempuran laut jawa
telah dimulai. Pertempuran laut Jawa memegang peranan penting, karena telah
melumpuhkan hampir seluruh kekuatan angkatan laut Belanda dalam Perang Dunia
II. Pertempuran yang hanya berlangsung tujuh seperempat jam ternyata tidak
dapat menghentikan laju gerak pasukan-pasukan Jepang. Pada tanggal 1 Maret 1942
kekuatan Jepang berada di depan pantai Jawa.
Panglima tertinggi Letnan Jenderal
Imamura Hitsoji, memulai pendaratannya di teluk Banten. Sebelumnya telah ada
kesatuan-kesatuan yang melakukan operasi pembersihan terhadap daerah tersebut.
Di Banten ini, Letnan Jenderal Imamura Hitsoji mendaratkan satu divisi tentara,
ditambah dengan kesatuan-kesatuan arteleri dan teknik sehingga seluruhnya
diperkirakan berjumlah 30.000 tentara. Sementara itu di daerah Jawa Timur
didaratkan tiga resimen tentara arteleri serta teknik dengan sejumlah
keseluruhan kurang lebih 20.000 orang. Mereka yang mendarat di Indramayu
seluruhnya berjumlah 5.000 orang.
Hal sama terjadi di Singapura, ketika
sekitar 100.000 tentara Inggris menyerah kepada 30.000 tentara Jepang dan
Filipina dimana 31.000 tentara Amerika Serikat dan 120.000 tentara Filipina
menyerah ditangan 43.000 tentara Jepang. Tidak ada dukungan waktu yang sangat singkat.
Letnan Jenderal Imamura Hitsoji sendiri heran ketika justru mendapatkan
sambutan hangat ketika mendarat di Banten. Dalam buku hariannya yang kemudian
menjadi sumber penting dan unik mengenai masa awal pendudukan Jepang, mencatat
:
”Orang-orang pribumi berlari
mendekati jalan membawa pisau-pisau penjang. Mereka kelihatannya tidak
berencana menyerang kami. Ketika mencapai jalanan, mereka mulai
menebas dahan-dahan dan ranting pohon yang memenuhi jalan. Ketika ratusan orang
lain mulai ikut membantu, jalan itu dalam waktu 20 atau 30 menit menjadi mudah
dilalui. Beberapa orang perwira Jepang mengeluarkan kamus percakapan
Jepang-Indonesia dari saku mereka, yang telah dibekali. Mereka lalu mulai
bercakap-cakap dengan orang dewasa dan anak-anak, dibantu oleh bahasa isyarat.
Aku heran; apakah ini benar-benar medan pertempuran”.
(LetJend. Imamura Hitsoji)
Batavia yang selama masa kolonial
menjadi kota pemerintahan, segera dikosongkan dan semua pejabat serta
tokoh-tokoh penting mengungsi ke Bandung. Setelah mendapat serangan yang hebat
melalui laut, tanggal 5 Maret 1942 Batavia dinaytakan sebagai kota terbuka yang
tidak akan dipertahankan lebih lanjut. Tiga hari kemudian, ketika Jepang
memasuki Bandung, Belanda menyerah secara resmi.
Pada bulan Februari 1942, tentara
Jepang telah mengirim armada kapal lengkap dengan berbagai rencana untuk
membentuk pemerintahan militer di atas wilayah kekuasaannya yang baru. Dua
dokumen yang melandasi kegaiatn ini adalah ”Azas-azas mengenai pemerintahan
di wilayah-wilayah selatan yang diduduki” dan ”Persetujuan pokok antara
angkatan darat dan angkatan laut menegnai pemerintahan militer di
wilayah-wilayah yang diduduki” yang diputuskan melalui konferensi
penghubung pada bulan November 1941.
Dalam setiap unit regional
pemerintahan, baik di daerah angkatan darat maupun angkatan laut, masing-masing
markas besar menyusun dan memakai dokumen-dokumen dan kebijaksanaan militer di
daerahnya. Semua dokumen dan kebijaksanaan tersebut menekankan tiga hal, yaitu
:
1.
Memulihkan dan memelihara ketertiban
dan keamanan
2.
Memperoleh sumber kebutuhan
perang yang vital
3.
Dilaksanakannya pemenuhan
kebutuhan secara berdikari (swasembada) bagi masing-masing pasukan tempur.
Pembentukan pemerintahan militer oleh
Jepang berlangsung dalam tiga tahap, yaitu :
1.
Pemindahan kekuasaan
adminsitarsi kolonial ke tangan tentara Jepang
2.
Pemerintahan militer yang
ketat dengan dikuasainya semua jabatan oleh perwira-perwira militer.
3.
Pergeseran pemerintahan semi
militer dimana berbagai jabatan-jabatan diduduki orang-orang sipil.
Kedatangan Jepang disertai keinginan
untuk secepat mungkin menghilangka pengaruh Belanda dalam kehidupan rakyat,
baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Patung Jan Pieterszoon Coen yang
menjadi semacam simbol kekuatan kolonial di Batavia ditumbangkan. Nama-nama
jalan yang banyak menggunakan nama-nama Belanda diubah. Banyak orang-orang
Belanda yang ditahan oleh Jepang. Polisi militer atau Kenpeitai,
polisi militer ini menempati sisi-sisi gelapnya karena mengingatkan mereka
perbuatan kejam, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Seperti terungkap
dalam kutipan dibawah ini yang menceritakan apa saja yang terjadi jika berada
dalam tawanan Kenpeitai :
”...Dalam sebuah sel yang sempit,
sering ke dalam kandang bagi mereka didorongkan dimana makan dan minum hampir
tidak mungkin. Ransum nasi sedikit sekali dan diletakkan didepan pintu kandang;
sering sudah kemasukan kecoa (kakerlak) atau semacam serangga. Sayuran
hanya sedikit air dengan pepayah mentah; bicara tidak boleh. Di siang hari yang
terik panasnya mereka duduk berjongkok dan tidak boleh bersandar pada dinding
(tembok), juga dilarang tidur siang. Terang saja tanpa tikar tebal atau bantal.
Paling ada sehelai tikar tipis diatas ubin, yang telah menjadi sarang kutu,
rayap dan sejenis serangga lain.....”
( Kesaksian seorang tawanan Perang)
Kenpeitai sendiri
sebagai perlengkapan dari kemaharajaan Jepang telah berdiri pada tahun 1881
beranggotakan 349 perwira terpilih dari angkatan darat Jepang. Sejak awal
mereka memiliki tugas ganda, yaitu mengawasi personil militer sekaligus
mengawasi rakyat. Pada jaman Showa, sasaran mereka adalah buruh,
mahasiswa, petani, kaum sosialis dan komunis. Mereka juga menangani orang-orang
yang menyuarakan ideologi tertentu. Metode kerjanya diarahkan pada penciptaan
teror dikalangan luas, melalalui intimidasi, tindak kekerasan, dan bahkan
pembunuhan. Di luar Jepang, lembaga ini aktif dalam sejumlah perang atau
wilayah pendudukan, seperti Formosa (1895-1945), Korea (1886-1945), dan
Cina (1901-1945) dan selama Perang Dunia II, di Birma, Indocina, Malaysia,
Filipina dan Indonesia.
Di wilayah-wilayah pendudukan mereka
menegaskan kekuasaan dan berusaha menghancurkan setiap bentuk mobilisasi anti
Jepang. Kenpeitai juga melakukan sensor terhadap segala bentuk
percetakan, mengawasi kegiatan-kegiatan yang dianggap subversif, memusnakan
jaringan mata-mata musuh, mengawasi setiap peralatan vital seperti kantor pos,
stasiun kereta api, hotel, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya. Pada masa
pendudukan di Indonesia mereka selalu hadir dalam kamp-kamp tawanan perang.
Sekedar mengingatkan setelah dua minggu Jepang secara resmi menduduki
Indonesia, segala bentuk aktivita spolitik dilarang. Simbol-simbol
dari kaum nasionalis seperti bendera merah puti dilarang berkibar. Partai-partai
yang tetap bertahan hidup pada masa kolonial dibubarkan.
Melalui berbagai keputusan pada masa
awal pendudukan, pemerintahan militer Jepang melarang segala bentuk pertemuan,
kelembagaan dan penerbitan. Pada tanggal 20 Maret 1942 diumumkan kebijakan yang
menyatakan ”segala bentuk keterlibatan dalam pembicaraan, aktivitas dan
propaganda yang berkaitan dengan organisasi dan struktur pemerintahan dianggap
ilegal” tindakan represif dari pemelitahan militer Jepang ini seketika
menimbulkan kekecewaan di kalangan nasionalis, yang semula melihat Jepang
sebagai bangsa pembebas. Dalam perkembangan selanjutnya jepang mulai berusaha
meredam ketegangan politik yang timbul, akibat tindakan represif mereka. Dalam
waktu dua bulan setelah semua kegiatan politik dinyatakan dilarang, didirikan Gerakan
Tiga A dibawah pimpinan R. Samsudin, seorang nasionalis yang kurang
terkemuka.
Tujuan utama dari pembentukan lembaga
ini adalah memobilisasi masa Indonesia untuk mendukung Jepang pada masa perang.
Pendirian lembaga ini tidak mendapat sambutan yang hangat oleh kaum nasionalis
karena dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan mereka. Meskipun begitu
tidak melihat adanya jalan keluar, selain bekerjasama dengan Jepang. Baik
Soekarno maupun Hatta telah memilih jalur bekerjasama seperti itu, dengan
harapan bahwa segala hal yang sah harus dilakukan untuk memberi tempat lebih
luas bagi perjuangan nasionalis. Sebenarnya sebelum itu telah ada kesepakatan
diantara Hatta dan Sjahrir menegnai bentuk perjuangan. Hatta memilih jalan
kerjasama dengan pemerintahan militer Jepang, sementara Sjahrir memilih
aktivitas bawah tanah.
Mereka yang tergabung dalam Partai
Indonesia Raya (PARINDRA) agaknya lebih mudah menerima perubahan kondisi ini,
walaupun hanya sedikit yang akhirnya mau bekerjasama dengan Jepang. Dalam waktu
singkat saja Jepang telah berhasil mengawasi tokoh-tokoh politik di Jawa, baik
itu kolaborator amupun tidak, dengan segala peringkat jabatan. Sementara itu
Soekarno bersama Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur membentuk empat
serangkai sebagai pemimpin
orang-orang yang mau bekerjasama dengan Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942
akhirnya didirikan Pusat Tenaga Rakyat (POETERA). Lembaga baru yang dijanjikan
itu ternyata tidak berbentuk partai, dan pada dasarnya tidak menyediakan tempat
juga bagi para anggotanya untuk menggalang kekuatan politik. Sebagai ketua
dipilih Soekarno dibantu oleh ketiga rekannya dalam empat serangkai. Pada
tahun 1944 lembaga ini kemudian diganti oleh Djawa Hokaiko. Lembaga yang
disebut belakangan ini juga memiliki organisasi pemuda, yang dinamakan Barisan
Pelopor yang secara langsung berada
di bawah penguasaan kaum nasionalis.
Golongan selanjutnya yang tetap
bertahan diatas tanah adalah golongan Islam. Hubungan antara Jepang dengan
Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sebelum masa pendudukan. Ketika
diadakan konferensi Islam se-dunia di Tokyo (1938), Majelis Islamil A’laa
Indonesia (MIAI) mengirimkan wakil mereka. Jepang sendiri saat itu memiliki
lembaga pengkajian agama Islam, sekalipun tidak banyak dianut oleh warganya
sendiri. Kebijakan terhadap golongan Islam diatur dalam Senryochi Gunsei
Yoko yang dikeluarkan tanggal 14
Maret 1942. Dalam dokumen tentang tata pelaksanaan pemerintahan militer Jepang
didaerah pendudukan, hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan diatur secara
ringkas dalam alinea berikutnya. Jelas pemerintahan militer Jepang
menganggap Islam sebagai alat propaganda politik dan mobilisasi masa. Mereka
melihat adanya celah, karena Islam jelas berbeda dengan orang-orang barat yang
kebanyakan beragama kristen. Tokoh-tokoh muslim mendapat perhatian besar dari Jepang
karena potensi mereka sebagai alat propaganda. Perhatian yang besar ini
ditunjukan dnegan dibentuknya Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang berdiri
sendiri. Berbeda dengan jaman kolonial yang meletakkan urusan agama Islam
dibawah kantoor Adviser Voor Inlandsche Zaken (bagian dari
Departement Van Onderwijs En
Erendients). Dalam perkembangannya, Shumubu mengalami beberapa
perkembangan, misalnya dengan naiknya Husien Djajadiningrat sebagai Shumubu
Cho (Kepala Departemen) September 1943. Hal ini berkaitan dengan langkah
Seiji Sanyo yang memberikan kesempatan bagi pribumi untuk berpartisipasi dalam
politik.
MIAI pada tahun 1943 diubah menjadi
Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Para pemimpin Islam ini banyak
yang mnejadi pimpinan dalam PETA. Dalam pembentukan Chuo Sangiin golongan
Islam mendapat enam wakil yang terkemuka dari seluruh anggota yang berjumlah 43
orang. Sangat kontras jika dibandingkan dengan masa kolonial, dimana golongan Islam
hanya memiliki satu orang wakil dalam Volksraad yang beranggotakan 60
orang. Disamping kehidupan politik golongan-golongan yang coba dijelaskan
diatas, di beberapa daerah terjadi sejumlah pergolakan yang menandai
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan militer Jepang. Romusha atau
tenaga kerja paksa yang memakan banyak korban dan menimbulkan semacam sentimen
anti Jepang dikalangan rakyat.
Ditambah lagi dengan adanya
peneyrahan secara paksa, seperti di Indramayu dan Tasikmalaya. Akhirnya
mengagetkan pemerintahan pendudukan Jepang dilakukan oleh Tentara Pembela Tanah
Air (PETA) di Booie Gyuugun, Blitar, Kediri. Kerusuhan ini terjadu pada
tanggal 14 Februari 1945 dengan melibatkan hampir semua tentara yang dipimpin
Supriyadi. Gambar yang kasar mengenai perkembangan politik pada masa pendudukan
Jepang, memperlihatkan hal yang sangat penting. Pertama, sejak awal
kedatangannya Jepang telah menancapkan pemerintahan militer yang sangat
represif. Melalui pemerintahan militer inilah mereka secara umum menguasai
rakyat di Jawa. Dominasi dalam segala aspek kehidupan dengan sendirinya
menyempitkan ruang gerak kaum nasionalis.
Kedua,
reaksi atau sikap yang diambil orang-orang Indonesia pun beragam. Seperti kita
lihat sejumlah tokoh-tokoh yang justru memilih bekerjasama dengan Jepang,
kemudian golongan Islam yang masuk kedalam bagian yang berhasil di mobilisasi.
Kenyataan ini membawa kita pada persoalan selanjutnya.
Dimana letak orang-orang yang pada masa kolonial sangat
anti fasis dan sejak semula menolak kedatangan Jepang?
Apa yang dilakukan golongan tersebut, dengan adanya rezim
yang demikian represif ?
Siapa orang-orang yang termasuk dalam golongan tersebut ?
Dan yang paling penting, gagasan apa yang ditampilkan
yang membuat mereka menjadi berbeda dengan arus besar yang ada?
Sebenarnya masih banyak pertanyaan
yang dapat diajukan dan untuk keperluan itu penulis akan mencoba menguraikan
apa yang dipahami sebagai gerakan bawah tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar