Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Kamis, 08 Maret 2012

Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Wij sluiten nu. Vaarwel tot betere tijden. Lang leve de kiningin”.
(Siaran Radio NIROM)

Yang artinya; “kita berhenti sampai disini. Sampai jumpa di hari-hari  yang lebih baik. Hidup Ratu”
Siaran Radio NIROM ini dilakukan pada Senin 8 Maret 1942, kata-kata diatas mengakhiri pengumuman penyerahan pihak Hindia Belanda terhadap tuntutan Jepang dan secara simbolis menandai berakhirnya kekuasaan negera kolonial ditanah jajahannya, dan sekaligus sebuah periode sejarah yang berlangsung lama. Jika diamati sepintas, memang mengherankan bahwa negara Hindia Belanda dengan cepat menyerah kepada tentara Jepang.
Tahun 1940-1941 Jepang telah mendapatkan hasil gemilang lagi di Indocina, yakni membuat Amerika Serikat dan negara-negara lain membekukan kegiatan financial Jepang di Amerika dan mengadakan embargo terhadap barang-barang  dagangan Jepang. Selain itu, kekuatan kaum komunis juga merasakan perkembangan militer Jepang sebagai ancaman sehingga pada tahun 1935 mereka telah membentuk gerakan anti fasisme dalam kongres komintern di New Delhi. Sebagai jawaban terhadap pembentukan front ini, Jepang bersama Jerman dan Italia membentuk anti Komintern Pact. Pada bulan September 1940, Persekutuan ketiga negara ini makin diperkokoh melalui pembentukan Tri Partie Pact yang pada dasarnya bertujuan membentuk pakta militer untuk menghentikan intervensi Amerika serikat, baik diwilayah Asia maupun Eropa.
Embargo ekonomi yang dilakukan terhadap Jepang, antara lain ikut menentukan keputusan Jepang untuk mengumumkan perang. Terutama ketika Hindia Belanda yang menjadi sumber perolehan minyak juga ikut memberlakukan embargo, sehingga jalur perolehan minyak seketika terhambat. Demikian pula halnya dengan bahan-bahan mentah lainnya, seperti timah dan karet yang sangat penting untuk perkembangan industrinya. Pada tanggal 20 Mei 1940, tidak lama setelah negeri Belanda mendapat serangan dari tentara Jerman, pemerintah Jepang mengirim pesan khusus kepada pemerintah Hindia Belanda  agar tetap mengekspor bahan-bahan mentah tersebut.
Keputusan Jepang untuk terlibat dalam perang pasifik diambil dalam konferensi Kemaharajaan pada tanggal 2 Juli 1941 yang dihadiri oleh pejabat tinggi Jepang. Gagasan yang sangat mendasar dari Konferensi ini adalah pembentukan “Lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan perdamaian dunia”. Dengan adanya legitimasi konsep seperti ini, Jepang tidak melihay serangan tetapi lebih sebagai usaha invasi apalagi penjajahan, tapi lebih sebagai usaha pembebasan wilayah-wilayah yang dikuasai musuh. Gagasan “Pembebasan bangsa Asia” ini kemudian mendapat sambutan cukup luas dikalangan rakyat. Keputusan perang akhirnya diambil tanggal konferensi penghubung yang kemudian disahkan dalam konferensi kemaharajaan pada tanggal 1 Desember 1941.
Dengan demikian telah tersusun alasan serta usaha Jepang untuk melakukan penyerbuan terhadap wilayah Selatan Asia. Genderang perang dibunyikan, dalam sekejap lautan tentara berkulit kuning langsat dan berani Harakiri serta Kamikaze merambah satu persatu daratan Asia. Sejak awal tahun 1942, kekuatan Belanda di Jawa telah digempur oleh pasukan Jepang. Selama bulan Februari Jepang melakukan serangan-serangan terhadap kota Surabaya. Sementara itu kekuatan Jepang juga melebarkan sayapnya dari Malaya menuju Sumatera dan pada tanggal 16 Februari 1942 telah berhasil menguasai Palembang. Pangkalan-pangkalan minyak dengan demikian berhasil dikuasai, sehingga Belanda terpaksa menggunakan pangkalan Cepu sebagai satu-satunya sumber minyak yang masih tersedia.
Pulau Sulawesi dan Kalimantan telah berhasil diduduki pada bulan Februari 1942. Hal ini mengingat penjagaan yang tidak terlalu ketat dari tentara kolonial dikedua wilayah tersebut. Penguasaan terhadap bagian Selatan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi ini dengan sendirinya menjadikan ancaman strategi terhadap Jawa, terutama Batavia (Jakarta), yang terkepung dari tiga arah. Kekuatan udara Jepang yang digerakkan dari Singapura pada saat yang sama telah sepenuhnya berkuasa. Pada tanggal 27 Februari 1942, Belanda menyaksikan kehadiran kapal-kapal tempur Jepang dan di sore hari tepat pukul 16.16 WIB kapal-kapal Jepang membuka tembakan. Pertempuran laut jawa telah dimulai. Pertempuran laut Jawa memegang peranan penting, karena telah melumpuhkan hampir seluruh kekuatan angkatan laut Belanda dalam Perang Dunia II. Pertempuran yang hanya berlangsung tujuh seperempat jam ternyata tidak dapat menghentikan laju gerak pasukan-pasukan Jepang. Pada tanggal 1 Maret 1942 kekuatan Jepang berada di depan pantai Jawa.
Panglima tertinggi Letnan Jenderal Imamura Hitsoji, memulai pendaratannya di teluk Banten. Sebelumnya telah ada kesatuan-kesatuan yang melakukan operasi pembersihan terhadap daerah tersebut. Di Banten ini, Letnan Jenderal Imamura Hitsoji mendaratkan satu divisi tentara, ditambah dengan kesatuan-kesatuan arteleri dan teknik sehingga seluruhnya diperkirakan berjumlah 30.000 tentara. Sementara itu di daerah Jawa Timur didaratkan tiga resimen tentara arteleri serta teknik dengan sejumlah keseluruhan kurang lebih 20.000 orang. Mereka yang mendarat di Indramayu seluruhnya berjumlah 5.000 orang.
Hal sama terjadi di Singapura, ketika sekitar 100.000 tentara Inggris menyerah kepada 30.000 tentara Jepang dan Filipina dimana 31.000 tentara Amerika Serikat dan 120.000 tentara Filipina menyerah ditangan 43.000 tentara Jepang. Tidak ada dukungan waktu yang sangat singkat. Letnan Jenderal Imamura Hitsoji sendiri heran ketika justru mendapatkan sambutan hangat ketika mendarat di Banten. Dalam buku hariannya yang kemudian menjadi sumber penting dan unik mengenai masa awal pendudukan Jepang, mencatat :

Orang-orang pribumi berlari mendekati jalan membawa pisau-pisau penjang. Mereka kelihatannya tidak berencana menyerang kami. Ketika mencapai jalanan, mereka mulai menebas dahan-dahan dan ranting pohon yang memenuhi jalan. Ketika ratusan orang lain mulai ikut membantu, jalan itu dalam waktu 20 atau 30 menit menjadi mudah dilalui. Beberapa orang perwira Jepang mengeluarkan kamus percakapan Jepang-Indonesia dari saku mereka, yang telah dibekali. Mereka lalu mulai bercakap-cakap dengan orang dewasa dan anak-anak, dibantu oleh bahasa isyarat. Aku heran; apakah ini benar-benar medan pertempuran”.
(LetJend. Imamura Hitsoji)

Batavia yang selama masa kolonial menjadi kota pemerintahan, segera dikosongkan dan semua pejabat serta tokoh-tokoh penting mengungsi ke Bandung. Setelah mendapat serangan yang hebat melalui laut, tanggal 5 Maret 1942 Batavia dinaytakan sebagai kota terbuka yang tidak akan dipertahankan lebih lanjut. Tiga hari kemudian, ketika Jepang memasuki Bandung, Belanda menyerah secara resmi.
Pada bulan Februari 1942, tentara Jepang telah mengirim armada kapal lengkap dengan berbagai rencana untuk membentuk pemerintahan militer di atas wilayah kekuasaannya yang baru. Dua dokumen yang melandasi kegaiatn ini adalah ”Azas-azas mengenai pemerintahan di wilayah-wilayah selatan yang diduduki” dan ”Persetujuan pokok antara angkatan darat dan angkatan laut menegnai pemerintahan militer di wilayah-wilayah yang diduduki” yang diputuskan melalui konferensi penghubung pada  bulan November 1941.
Dalam setiap unit regional pemerintahan, baik di daerah angkatan darat maupun angkatan laut, masing-masing markas besar menyusun dan memakai dokumen-dokumen dan kebijaksanaan militer di daerahnya. Semua dokumen dan kebijaksanaan tersebut menekankan tiga hal, yaitu :
1.       Memulihkan dan memelihara ketertiban dan keamanan
2.       Memperoleh sumber kebutuhan perang yang vital
3.       Dilaksanakannya pemenuhan kebutuhan secara berdikari (swasembada) bagi masing-masing pasukan tempur.

Pembentukan pemerintahan militer oleh Jepang berlangsung dalam tiga tahap, yaitu :
1.       Pemindahan kekuasaan adminsitarsi kolonial ke tangan tentara Jepang
2.       Pemerintahan militer yang ketat dengan dikuasainya semua jabatan oleh perwira-perwira militer.
3.       Pergeseran pemerintahan semi militer dimana berbagai jabatan-jabatan diduduki orang-orang sipil.

Kedatangan Jepang disertai keinginan untuk secepat mungkin menghilangka pengaruh Belanda dalam kehidupan rakyat, baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Patung Jan Pieterszoon Coen yang menjadi semacam simbol kekuatan kolonial di Batavia ditumbangkan. Nama-nama jalan yang banyak menggunakan nama-nama Belanda diubah. Banyak orang-orang Belanda yang ditahan oleh Jepang. Polisi militer atau Kenpeitai, polisi militer ini menempati sisi-sisi gelapnya karena mengingatkan mereka perbuatan kejam, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Seperti terungkap dalam kutipan dibawah ini yang menceritakan apa saja yang terjadi jika berada dalam tawanan Kenpeitai :
 
...Dalam sebuah sel yang sempit, sering ke dalam kandang bagi mereka didorongkan dimana makan dan minum hampir tidak mungkin. Ransum nasi sedikit sekali dan diletakkan didepan pintu kandang; sering sudah kemasukan kecoa (kakerlak) atau semacam serangga. Sayuran hanya sedikit air dengan pepayah mentah; bicara tidak boleh. Di siang hari yang terik panasnya mereka duduk berjongkok dan tidak boleh bersandar pada dinding (tembok), juga dilarang tidur siang. Terang saja tanpa tikar tebal atau bantal. Paling ada sehelai tikar tipis diatas ubin, yang telah menjadi sarang kutu, rayap dan sejenis serangga lain.....
( Kesaksian seorang tawanan Perang)

Kenpeitai sendiri sebagai perlengkapan dari kemaharajaan Jepang telah berdiri pada tahun 1881 beranggotakan 349 perwira terpilih dari angkatan darat Jepang. Sejak awal mereka memiliki tugas ganda, yaitu mengawasi personil militer sekaligus mengawasi rakyat. Pada jaman Showa, sasaran mereka adalah buruh, mahasiswa, petani, kaum sosialis dan komunis. Mereka juga menangani orang-orang yang menyuarakan ideologi tertentu. Metode kerjanya diarahkan pada penciptaan teror dikalangan luas, melalalui intimidasi, tindak kekerasan, dan bahkan pembunuhan. Di luar Jepang, lembaga ini aktif dalam sejumlah perang atau wilayah pendudukan, seperti Formosa (1895-1945), Korea (1886-1945), dan Cina (1901-1945) dan selama Perang Dunia II, di Birma, Indocina, Malaysia, Filipina dan Indonesia.
Di wilayah-wilayah pendudukan mereka menegaskan kekuasaan dan berusaha menghancurkan setiap bentuk mobilisasi anti Jepang. Kenpeitai juga melakukan sensor terhadap segala bentuk percetakan, mengawasi kegiatan-kegiatan yang dianggap subversif, memusnakan jaringan mata-mata musuh, mengawasi setiap peralatan vital seperti kantor pos, stasiun kereta api, hotel, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya. Pada masa pendudukan di Indonesia mereka selalu hadir dalam kamp-kamp tawanan perang. Sekedar mengingatkan setelah dua minggu Jepang secara resmi menduduki Indonesia, segala bentuk aktivita spolitik dilarang. Simbol-simbol dari kaum nasionalis seperti bendera merah puti dilarang berkibar. Partai-partai yang tetap bertahan hidup pada masa kolonial dibubarkan.
Melalui berbagai keputusan pada masa awal pendudukan, pemerintahan militer Jepang melarang segala bentuk pertemuan, kelembagaan dan penerbitan. Pada tanggal 20 Maret 1942 diumumkan kebijakan yang menyatakan ”segala bentuk keterlibatan dalam pembicaraan, aktivitas dan propaganda yang berkaitan dengan organisasi dan struktur pemerintahan dianggap ilegal” tindakan represif dari pemelitahan militer Jepang ini seketika menimbulkan kekecewaan di kalangan nasionalis, yang semula melihat Jepang sebagai bangsa pembebas. Dalam perkembangan selanjutnya jepang mulai berusaha meredam ketegangan politik yang timbul, akibat tindakan represif mereka. Dalam waktu dua bulan setelah semua kegiatan politik dinyatakan dilarang, didirikan Gerakan Tiga A dibawah pimpinan R. Samsudin, seorang nasionalis yang kurang terkemuka.
Tujuan utama dari pembentukan lembaga ini adalah memobilisasi masa Indonesia untuk mendukung Jepang pada masa perang. Pendirian lembaga ini tidak mendapat sambutan yang hangat oleh kaum nasionalis karena dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan mereka. Meskipun begitu tidak melihat adanya jalan keluar, selain bekerjasama dengan Jepang. Baik Soekarno maupun Hatta telah memilih jalur bekerjasama seperti itu, dengan harapan bahwa segala hal yang sah harus dilakukan untuk memberi tempat lebih luas bagi perjuangan nasionalis. Sebenarnya sebelum itu telah ada kesepakatan diantara Hatta dan Sjahrir menegnai bentuk perjuangan. Hatta memilih jalan kerjasama dengan pemerintahan militer Jepang, sementara Sjahrir memilih aktivitas bawah tanah.
Mereka yang tergabung dalam Partai Indonesia Raya (PARINDRA) agaknya lebih mudah menerima perubahan kondisi ini, walaupun hanya sedikit yang akhirnya mau bekerjasama dengan Jepang. Dalam waktu singkat saja Jepang telah berhasil mengawasi tokoh-tokoh politik di Jawa, baik itu kolaborator amupun tidak, dengan segala peringkat jabatan. Sementara itu Soekarno bersama Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur membentuk empat serangkai  sebagai pemimpin orang-orang yang mau bekerjasama dengan Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942 akhirnya didirikan Pusat Tenaga Rakyat (POETERA). Lembaga baru yang dijanjikan itu ternyata tidak berbentuk partai, dan pada dasarnya tidak menyediakan tempat juga bagi para anggotanya untuk menggalang kekuatan politik. Sebagai ketua dipilih Soekarno dibantu oleh ketiga rekannya dalam empat serangkai. Pada tahun 1944 lembaga ini kemudian diganti oleh Djawa Hokaiko. Lembaga yang disebut belakangan ini juga memiliki organisasi pemuda, yang dinamakan Barisan Pelopor  yang secara langsung berada di bawah penguasaan kaum nasionalis.
Golongan selanjutnya yang tetap bertahan diatas tanah adalah golongan Islam. Hubungan antara Jepang dengan Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sebelum masa pendudukan. Ketika diadakan konferensi Islam se-dunia di Tokyo (1938), Majelis Islamil A’laa Indonesia (MIAI) mengirimkan wakil mereka. Jepang sendiri saat itu memiliki lembaga pengkajian agama Islam, sekalipun tidak banyak dianut oleh warganya sendiri. Kebijakan terhadap golongan Islam diatur dalam Senryochi Gunsei Yoko  yang dikeluarkan tanggal 14 Maret 1942. Dalam dokumen tentang tata pelaksanaan pemerintahan militer Jepang didaerah pendudukan, hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan diatur secara ringkas dalam alinea berikutnya. Jelas pemerintahan militer Jepang menganggap Islam sebagai alat propaganda politik dan mobilisasi masa. Mereka melihat adanya celah, karena Islam jelas berbeda dengan orang-orang barat yang kebanyakan beragama kristen. Tokoh-tokoh muslim mendapat perhatian besar dari Jepang karena potensi mereka sebagai alat propaganda. Perhatian yang besar ini ditunjukan dnegan dibentuknya Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang berdiri sendiri. Berbeda dengan jaman kolonial yang meletakkan urusan agama Islam dibawah kantoor Adviser Voor Inlandsche Zaken (bagian dari Departement  Van Onderwijs En Erendients). Dalam perkembangannya, Shumubu mengalami beberapa perkembangan, misalnya dengan naiknya Husien Djajadiningrat sebagai Shumubu Cho (Kepala Departemen) September 1943. Hal ini berkaitan dengan langkah Seiji Sanyo yang memberikan kesempatan bagi pribumi untuk berpartisipasi dalam politik.
MIAI pada tahun 1943 diubah menjadi Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Para pemimpin Islam ini banyak yang mnejadi pimpinan dalam PETA. Dalam pembentukan Chuo Sangiin golongan Islam mendapat enam wakil yang terkemuka dari seluruh anggota yang berjumlah 43 orang. Sangat kontras jika dibandingkan dengan masa kolonial, dimana golongan Islam hanya memiliki satu orang wakil dalam Volksraad yang beranggotakan 60 orang. Disamping kehidupan politik golongan-golongan yang coba dijelaskan diatas, di beberapa daerah terjadi sejumlah pergolakan yang menandai ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan militer Jepang. Romusha atau tenaga kerja paksa yang memakan banyak korban dan menimbulkan semacam sentimen anti Jepang dikalangan rakyat.
Ditambah lagi dengan adanya peneyrahan secara paksa, seperti di Indramayu dan Tasikmalaya. Akhirnya mengagetkan pemerintahan pendudukan Jepang dilakukan oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Booie Gyuugun, Blitar, Kediri. Kerusuhan ini terjadu pada tanggal 14 Februari 1945 dengan melibatkan hampir semua tentara yang dipimpin Supriyadi. Gambar yang kasar mengenai perkembangan politik pada masa pendudukan Jepang, memperlihatkan hal yang sangat penting. Pertama, sejak awal kedatangannya Jepang telah menancapkan pemerintahan militer yang sangat represif. Melalui pemerintahan militer inilah mereka secara umum menguasai rakyat di Jawa. Dominasi dalam segala aspek kehidupan dengan sendirinya menyempitkan ruang gerak kaum nasionalis.
Kedua, reaksi atau sikap yang diambil orang-orang Indonesia pun beragam. Seperti kita lihat sejumlah tokoh-tokoh yang justru memilih bekerjasama dengan Jepang, kemudian golongan Islam yang masuk kedalam bagian yang berhasil di mobilisasi. Kenyataan ini membawa kita pada persoalan selanjutnya.
Dimana letak orang-orang yang pada masa kolonial sangat anti fasis dan sejak semula menolak kedatangan Jepang?
Apa yang dilakukan golongan tersebut, dengan adanya rezim yang demikian represif ?
Siapa orang-orang yang termasuk dalam golongan tersebut ?
Dan yang paling penting, gagasan apa yang ditampilkan yang membuat mereka menjadi berbeda dengan arus besar yang ada?
Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan dan untuk keperluan itu penulis akan mencoba menguraikan apa yang dipahami sebagai gerakan bawah tanah.     

Tidak ada komentar: