Pada tahun 1931 tokoh-tokoh PNI di
bebaskan dan kembali melakukan aktivitas politik dengan garis lama yaitu
agitasi dan konfrontasi. Gubernur Jenderal De Graeff pun tidak mau membubarkan
partai itu, walau kekuasaan yang dimilikinya mampu untuk melakukan hal itu. Kebijakan
pemerintah kolonial terhadap PNI adalah melemahkan partai terebut melalui
penangkapan dan pengasingan terhadap sejumlah pimpinan dan para pengurusnya. Tidak
cukup hanya itu, pemerintah kolonial pun melakukan pembredelan pers atas surat
kabar Pikiran Ra’jat yang terbit dibandung pada 13 Juli 1931. Masalahnya,
karena surat kabar ini memberitakan tentang pemberontakan Zeden Provincien.
Selain pembredelan ini, rapat
PARTINDO dan PNI-Baru dilarang. Maksudnya agar rust en orde (keamanan
dan ketertiban) tetap terpelihara dengan baik, dengan demikian kolonial dapat
menjalankan mesin kekuasaan dengan lebih lancar. Pelarangan terhadap
rapat-rapat dilakukan sebagai usaha pencegahan partai menarik perhatian rakyat.
Cara tersebut dipandang cukup efektif
dalam meredam PNI menjadi sebuah partai yang radikal di mata pemerintahan
kolonial setelah hancurnya PKI. Sejak penahanan tokoh-tokoh PNI tersebut,
partai terpecah dalam dua kelompok. PNI-Baru dengan figur utama Mohammad Hatta
dan Sutan Sjahrir dimana pendidikan kader menjadi hal utama. selain itu,
keduanya berpendapat bahwa perjuangan politik sebagai pelaksanaan melawan
kapitalisme, yang dianggap sebagai biang keladi kolonialisme. Sebaliknya,
PARTINDO dimana Soekarno, Sartono, dan Anwari berada disini bertujuan
memobilisasi masa, sambil melancarkan konfrontasi melalui apa yang disebut
sebagai front coklat (bruine front) dengan front putih (witte front).
Jika dibandingkan dengan Soekarno, Sjahrir dan
Hatta memang memiliki pengetahuan lebih lengkap tentang situasi luar khususnya
Belanda. Sebab kedua tokoh ini menempuh pendidikan tinggi. Hatta mempelajari
ilmu ekonomi, sementara Sjahrir ilmu hukum di negeri Belanda. Dari Belanda,
Hatta dan Sjahrir beserta mahasiswa Indonesia lainnya mengatur strategi dengan
membentuk Perhimpunan Indonesia (PI). Perbedaan antara Soekarno di satu pihak
dengan Hatta dan Sjahrir di lain pihak, turut pula mempengaruhi terhadap cara
pandang keduanya dalam membaca situasi kolonial serta langkah yang harus
ditempuh.
Penangkapan dan pemenjaraan terhadap
Soekarno dan pendahulu-pendahulunya menimbulkan makna tersendiri tentang arti
sebuah penjara. Bagi kaum pergerakan tersebut, penjara bukan halangan untuk
kembali terjun dipanggung politik menghadapi pemerintahan kolonial. Bagi kaum
pergerakan pula penjara dapat berarti lain yaitu sebagai tempat pendidikan dan
juga syarat bahwa seseorang pemimpin sejati haruslah sempat mendekam dalam
penjara sebagai konsekwensi pandangan-pandangan kritisnya terhadap pemerintahan
kolonial. Bagi kaum pergerakan, pandangan terhadap pemimpin dan penjara juga
ber beda. Sebuah partai atau perhimpunan akan menarik bagi rakyatnya, jika
partai atau perhimpunan tersebut memuat program-program yang dekat dengan
rakyat, maka partai atau perhimpunan tersebut akan mendapatkan simpati dari
rakyat. Dengan kata lain, partai atau perhimpunan berani berhubungan dengan
rakyat dalam kondisi yang represif sekalipun. Ini yang membentuk persepsi
rakyat tentang bagaimana sesungguhnya sebuah partai atau perhimpunan itu.
Pendapat seperti itu, mungkin atas penglihatan kaum pergerakan terhadap
sebagian mereka yang diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial. Ini pula
yang mengubah persepsi kaum pergerakan tentang arti sebuah penjara. Atau
persepsi semacam ini dipengaruhi oleh kejadian-kejadian akibat gagalnya pemberontakan
kaum komunis tahun 1926 dimana banyak pemimpin ditahan di buang ke Boven Digul.
Jika perkembangan di tingkat intern
partai mengalami penekanan disana-sini, baik terhadap pengurus maupun partai
itu sendiri. di tingkat nasional, terjadi kesepakatan antara beberapa
perhimpunan dan partai dalam kongres di Surabaya 30 Agustus sampai 2 September
1939 untuk membentuk pemufakatan partai-partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Ketua perhimpunan yang baru ini adalah Sutomo yang berasal dari Surabaya dan Anwari
dari Bandung yang dikenal dengan tokoh moderat. Pilihan tersebut nampaknya
untuk menjembatani berbagai perhimpunan dan partai yang terpecah-pecah atas
dasar ideologi maupun etnis tertentu, terutama kalangan Islam pada tahun 1929.
Perubahan ini dimaksudkan agar partai tidak bersifat eksklusif (Islam) semata,
tetapi bersifat terbuka untuk menerima keanggotaan dari luar atas dasar
kebangsaan.
Indonesische Studie Club yang
dibangun oleh Sutomo bersama kaum pergerakan Surabaya mengubah bentuk menjadi
Persatuan Bangsa Indoensia (PBI) pada tahun 1933. Perubahan ini bertujuan agar
bisa mengkonsentrasikan secara penuh pada perbaikan sosial ekonomi penduduk
Surabaya yang dikenal pula sebagai kota industri. Perubahan ini tidak saja
mengubah tujuan Indonesische Stuide Club sebagai sebuah arena bagi kaum pergerakan,
tapi perubahan ini juga bisa diartikan tujuan menjadi lebih jelas dirumuskan.
Persatuan Bangsa Indoensia (PBI) memiliki orientasi program yang setidaknya
diarahkan pada pemerintah kolonial maupun Volksraad.
Volksraad yang
dianggap sebagai komedi omong atau parlemen tiruan (Schijn Parlement)
tidak luput dari kritik-kritik tajam kaum pergerakan, dinilai tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Komposisi wakil-wakil pribumi di
dalamnya tidak sebanding dengan wakil Belanda. Sehingga, Volksraad dipandang
tidak mewakili kepentingan pribumi, rakyat menjadi mayoritas di Hindia Belanda.
Jika Volksraad tetap belum berpihak sepenuhnya pada pribumi dalam sidang
maupun keputusan yang diambilnya, maka Soetardjo Kartohadikusumo mengajukan
sebuah petisi pada tanggal 15 Juli 1936 yang dikenal dengan nama ”Petisi
Soetardjo”. Soetardjo dalam petisinya menyatakan agar di selenggarakannya
Konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik Hindia Belanda (soal
otonomi) dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang.
Petisi ini menimbulkan pro dan kontra
di kalangan kaum pergerakan sendiri. PNI-Baru menolak secara tegas petisi
tersebut, karena caranya yaitu diajukan dengan kedua tangan terbuka kepada
pemerintah kolonial. Hal ini yang nampaknya tidak disukai oleh partai tersebut.
Sepanjang periode antara tahun 1935-1942 yang ditempuh oleh partai untuk
mengubah haluan menjadi lebih bersikap kooperatif terhadap pemerintahan
kolonial Belanda. Partai menempuh jalan parlementer dan moderat terhadap
pemerintahan kolonial. Sedang janji dari
pemerintah adalah, jika partai menempuh jalan tersebut diatas, maka kekuasaan
aparat keamanan untuk ikut campur tangan dalam setiap urusan mengenai partai
akan dihilangkan.
Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO)
yang dibentuk sebagai gerakan anti fasisme juga menumpuh garis yang sama
melalui perundingan-perundingan. Dalam perjuangannya, GERINDO dipengaruhi oleh
perjuangan dunia antara kekuatan fasis melawan kekuatan demokrasi sebagai isu pokok
perjuangan. Amir Sjarifuddin merupakan salah satu tokoh yang populer dalam
pergerakan ini. Isu bahwa Hindia Belanda akan dipecah-pecah demi keuntungan
fasisme sempat tersiar dikalangan ini. sebab intervensi Jepang di Cina dikecam
oleh tokoh-tokoh gerakan ini. Adam Malik dan Wikana mendukung perjuangan
GERINDO untuk Front Demokrasi dengan fasisme melawan Jepang.
Pada tahun-tahun akhir pemerintahan
Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbourgh Stachhouwer
melakukan devaluasi terhadap mata uang golden, sehingga keadaan ekonomi
membaik. Tetapi kebijakan terhadap kalangan peregrakan politik reaksionernya
dipertahankan. Menjelang Perang Dunia II, politik kolonial dari pemerintahan
jajahan membeku. Tidak ada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenbourgh Stachhouwer mengeluarkan larangan rapat dan berkumpul. Untuk
mengadakan rapat harus diperoleh ijin terlebih dahulu. Semua rencana yang
menyangkut ketatanegaraan Hindia Belanda yang dituntut kaum pergerakan harus
ditunda sampai habis perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar