Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Kamis, 08 Maret 2012

Pergerakan Bawah Tanah (1930-1942)

Pada tahun 1931 tokoh-tokoh PNI di bebaskan dan kembali melakukan aktivitas politik dengan garis lama yaitu agitasi dan konfrontasi. Gubernur Jenderal De Graeff pun tidak mau membubarkan partai itu, walau kekuasaan yang dimilikinya mampu untuk melakukan hal itu. Kebijakan pemerintah kolonial terhadap PNI adalah melemahkan partai terebut melalui penangkapan dan pengasingan terhadap sejumlah pimpinan dan para pengurusnya. Tidak cukup hanya itu, pemerintah kolonial pun melakukan pembredelan pers atas surat kabar Pikiran Ra’jat yang terbit dibandung pada 13 Juli 1931. Masalahnya, karena surat kabar ini memberitakan tentang pemberontakan Zeden Provincien.
Selain pembredelan ini, rapat PARTINDO dan PNI-Baru dilarang. Maksudnya agar rust en orde (keamanan dan ketertiban) tetap terpelihara dengan baik, dengan demikian kolonial dapat menjalankan mesin kekuasaan dengan lebih lancar. Pelarangan terhadap rapat-rapat dilakukan sebagai usaha pencegahan partai menarik perhatian rakyat.
Cara tersebut dipandang cukup efektif dalam meredam PNI menjadi sebuah partai yang radikal di mata pemerintahan kolonial setelah hancurnya PKI. Sejak penahanan tokoh-tokoh PNI tersebut, partai terpecah dalam dua kelompok. PNI-Baru dengan figur utama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dimana pendidikan kader menjadi hal utama. selain itu, keduanya berpendapat bahwa perjuangan politik sebagai pelaksanaan melawan kapitalisme, yang dianggap sebagai biang keladi kolonialisme. Sebaliknya, PARTINDO dimana Soekarno, Sartono, dan Anwari berada disini bertujuan memobilisasi masa, sambil melancarkan konfrontasi melalui apa yang disebut sebagai front coklat (bruine front) dengan front putih (witte front).
 Jika dibandingkan dengan Soekarno, Sjahrir dan Hatta memang memiliki pengetahuan lebih lengkap tentang situasi luar khususnya Belanda. Sebab kedua tokoh ini menempuh pendidikan tinggi. Hatta mempelajari ilmu ekonomi, sementara Sjahrir ilmu hukum di negeri Belanda. Dari Belanda, Hatta dan Sjahrir beserta mahasiswa Indonesia lainnya mengatur strategi dengan membentuk Perhimpunan Indonesia (PI). Perbedaan antara Soekarno di satu pihak dengan Hatta dan Sjahrir di lain pihak, turut pula mempengaruhi terhadap cara pandang keduanya dalam membaca situasi kolonial serta langkah yang harus ditempuh.
Penangkapan dan pemenjaraan terhadap Soekarno dan pendahulu-pendahulunya menimbulkan makna tersendiri tentang arti sebuah penjara. Bagi kaum pergerakan tersebut, penjara bukan halangan untuk kembali terjun dipanggung politik menghadapi pemerintahan kolonial. Bagi kaum pergerakan pula penjara dapat berarti lain yaitu sebagai tempat pendidikan dan juga syarat bahwa seseorang pemimpin sejati haruslah sempat mendekam dalam penjara sebagai konsekwensi pandangan-pandangan kritisnya terhadap pemerintahan kolonial. Bagi kaum pergerakan, pandangan terhadap pemimpin dan penjara juga ber beda. Sebuah partai atau perhimpunan akan menarik bagi rakyatnya, jika partai atau perhimpunan tersebut memuat program-program yang dekat dengan rakyat, maka partai atau perhimpunan tersebut akan mendapatkan simpati dari rakyat. Dengan kata lain, partai atau perhimpunan berani berhubungan dengan rakyat dalam kondisi yang represif sekalipun. Ini yang membentuk persepsi rakyat tentang bagaimana sesungguhnya sebuah partai atau perhimpunan itu. Pendapat seperti itu, mungkin atas penglihatan kaum pergerakan terhadap sebagian mereka yang diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kolonial. Ini pula yang mengubah persepsi kaum pergerakan tentang arti sebuah penjara. Atau persepsi semacam ini dipengaruhi oleh kejadian-kejadian akibat gagalnya pemberontakan kaum komunis tahun 1926 dimana banyak pemimpin ditahan di buang ke Boven Digul.
Jika perkembangan di tingkat intern partai mengalami penekanan disana-sini, baik terhadap pengurus maupun partai itu sendiri. di tingkat nasional, terjadi kesepakatan antara beberapa perhimpunan dan partai dalam kongres di Surabaya 30 Agustus sampai 2 September 1939 untuk membentuk pemufakatan partai-partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Ketua perhimpunan yang baru ini adalah Sutomo yang berasal dari Surabaya dan Anwari dari Bandung yang dikenal dengan tokoh moderat. Pilihan tersebut nampaknya untuk menjembatani berbagai perhimpunan dan partai yang terpecah-pecah atas dasar ideologi maupun etnis tertentu, terutama kalangan Islam pada tahun 1929. Perubahan ini dimaksudkan agar partai tidak bersifat eksklusif (Islam) semata, tetapi bersifat terbuka untuk menerima keanggotaan dari luar atas dasar kebangsaan.
Indonesische Studie Club yang dibangun oleh Sutomo bersama kaum pergerakan Surabaya mengubah bentuk menjadi Persatuan Bangsa Indoensia (PBI) pada tahun 1933. Perubahan ini bertujuan agar bisa mengkonsentrasikan secara penuh pada perbaikan sosial ekonomi penduduk Surabaya yang dikenal pula sebagai kota industri. Perubahan ini tidak saja mengubah tujuan Indonesische Stuide Club  sebagai sebuah arena bagi kaum pergerakan, tapi perubahan ini juga bisa diartikan tujuan menjadi lebih jelas dirumuskan. Persatuan Bangsa Indoensia (PBI) memiliki orientasi program yang setidaknya diarahkan pada pemerintah kolonial maupun Volksraad. 
Volksraad yang dianggap sebagai komedi omong atau parlemen tiruan (Schijn Parlement) tidak luput dari kritik-kritik tajam kaum pergerakan, dinilai tidak mampu menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Komposisi wakil-wakil pribumi di dalamnya tidak sebanding dengan wakil Belanda. Sehingga, Volksraad dipandang tidak mewakili kepentingan pribumi, rakyat menjadi mayoritas di Hindia Belanda. Jika Volksraad tetap belum berpihak sepenuhnya pada pribumi dalam sidang maupun keputusan yang diambilnya, maka Soetardjo Kartohadikusumo mengajukan sebuah petisi pada tanggal 15 Juli 1936 yang dikenal dengan nama ”Petisi Soetardjo”. Soetardjo dalam petisinya menyatakan agar di selenggarakannya Konferensi Kerajaan Belanda yang membahas status politik Hindia Belanda (soal otonomi) dalam jangka waktu sepuluh tahun mendatang.
Petisi ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan kaum pergerakan sendiri. PNI-Baru menolak secara tegas petisi tersebut, karena caranya yaitu diajukan dengan kedua tangan terbuka kepada pemerintah kolonial. Hal ini yang nampaknya tidak disukai oleh partai tersebut. Sepanjang periode antara tahun 1935-1942 yang ditempuh oleh partai untuk mengubah haluan menjadi lebih bersikap kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Partai menempuh jalan parlementer dan moderat terhadap pemerintahan kolonial.  Sedang janji dari pemerintah adalah, jika partai menempuh jalan tersebut diatas, maka kekuasaan aparat keamanan untuk ikut campur tangan dalam setiap urusan mengenai partai akan dihilangkan.
Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) yang dibentuk sebagai gerakan anti fasisme juga menumpuh garis yang sama melalui perundingan-perundingan. Dalam perjuangannya, GERINDO dipengaruhi oleh perjuangan dunia antara kekuatan fasis melawan kekuatan demokrasi sebagai isu pokok perjuangan. Amir Sjarifuddin merupakan salah satu tokoh yang populer dalam pergerakan ini. Isu bahwa Hindia Belanda akan dipecah-pecah demi keuntungan fasisme sempat tersiar dikalangan ini. sebab intervensi Jepang di Cina dikecam oleh tokoh-tokoh gerakan ini. Adam Malik dan Wikana mendukung perjuangan GERINDO untuk Front Demokrasi dengan fasisme melawan Jepang.
Pada tahun-tahun akhir pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbourgh Stachhouwer melakukan devaluasi terhadap mata uang golden, sehingga keadaan ekonomi membaik. Tetapi kebijakan terhadap kalangan peregrakan politik reaksionernya dipertahankan. Menjelang Perang Dunia II, politik kolonial dari pemerintahan jajahan membeku. Tidak ada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.
   Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbourgh Stachhouwer mengeluarkan larangan rapat dan berkumpul. Untuk mengadakan rapat harus diperoleh ijin terlebih dahulu. Semua rencana yang menyangkut ketatanegaraan Hindia Belanda yang dituntut kaum pergerakan harus ditunda sampai habis perang.

Tidak ada komentar: