Sosok Djohan dalam dunia pergerakan
lebih banyak dikaitkan dengan kelompok Syahrir, yang banyak berisikan
intelektual muda-termasuk Djohan Sjahroezah sendiri. Djohan adalah salah satu
pemuda dalam kelompok Sjahrir dimasa-masa pergerakan Nasional sedang
menengalami tekanan dari pemerintah kolonial. Sebagai pemuda terpejar dan kader
PNI Baru yabf dibetuk Hatta dan Sjahrir, Djohan memiliki sisi radikalnya
sendiri. Diawal pergerakannya dia sudah berani menentang pemerintah lewat
tulisannya.
Djohan adalah salah satu tokoh non koperasi
yang bergerak dengan jalur yang berbeda, ketika bergerak secara-terangan sulit
dilakukan karena tekanan pemerintah yang semakin keras kepada kaum non
koperasi, Djohan lantas memilih jalur bawah tanah untuk menghindar dari
pengawasan Polisi rahasia kolonial, PID. Cara yang cukup efektif untuk
berhubungan dengan sisa-sisa kaum radikal kiri angkatan pertama di Indonesia,
PKI, yang akhirnya disebut PKI ilegal dalam tulisan sejarah pergerakan nasional
Djohan terlahir ditahun 1912, di Muara Enim,
Sumatra Selatan. Ibu Djohan, Radena adalah kakak tiri Syahrir dari lain ibu.
Radena anak dari istri pertama sedang Sjahrir anak dari istri ketiga. Sjahrir
adalah paman bagi Djohan Sjahroezah, kendati Sjahrir lahir tahun 1909. Djohan
menamatkan Europe Lager School (SD untuk anak-anak Eropa dan petinggi Pribumi)
di Medan. Sekolah menengah pertamanya-Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO)-dilalui di Bandung, sebelum pindah ke Jakarta. Lulus MULO, Djohan
belajar di Algemene Middelbare School (AMS) Batavia. Kondisi orangtuanya yang
mapan, memungkinkan Djohan kuliah di Recht Hoge School (RHS) Batavia selulusnya
dari AMS.
Djohan dan saudaranya didorong untuk
menguasai bahasa Belanda dengan memaksa mereka berbahasa Belanda di rumah sejak
dini oleh ayah mereka yang pegawai. Dimasa itu
bisa berbahasa Belanda adalah sebuah kebanggaan. Selama sekolah di Batavia, Djohan tinggal bersama ibunya
dirumah yang biasa dikunjungi Sjahrir, sementara ayah Djohan bekerja sebagai
pegawai perusahaan pertambangan di Sumatra Selatan. Semasa masih di Medan, Radena dan semua
anaknya tinggal dirumah ayahnya Muhamad Rasad-ayah Sjahrir juga.
Ayah
Djohan yang pegawai di perusahaan minyak besar di Sumatra pernah dipecat karena
depresi ekonomi dunia tahun 1931 sebelum akhirnya bekerja kembali di sebuah
perusahaan minyak di Palembang, adalah seorang pengamat dunia pergerakan. Ayah
Djohan seorang liberal yang nasionalis, sering mengikuti perkembangan politik
Hindia dan dunia internasional. Sumbangan uang kecil-kecilan sering
diberikannya kepada kaum pergerakan lokal tempat dia tinggal. Ironisnya
pemenjaraan atas anaknya sulit diterima dan membuatnya merasa malu. Radena
justru sedikit radikal mendengar berita penahanan itu. Umumnya, tidak terjadi
konflik besar antara pelajar, mahasiswa atau pemuda pergerakan dengan orang tua
mereka.
Sejak
kecil, Djohan dan adiknya, Hazil Tanzil, mulai bersifat kritis dengan adat
istiadat, karena mereka berdua memandangnya sebagai perintang kemajuan. Hal
semacam itu, mereka ungkapkan pada ayah dan ibu mereka, kepada mereka ayah dan
ibu mereka berharap mereka mau bersikap sopan. Orang-tua mereka berharap juga pada mereka
untuk tidak menentang datuk,
sang kepala klan. Saat datuk bertandang ke rumah mereka, dua
bocah itu memang bersikap sopan, namun mereka tetap saja membuat datuk dan
orang-tua mereka tersinggung lantaran mereka berargumen dan meragukan
keshahihan adat.
Masuk Pergerakan
Keterlibatan Djohan dengan dunia pergerakan,
tidak lepas dari pengaruh Sjahrir. Ketika Pendidikan Nasional Indonesia (PNI
Baru) terbentuk di Bandung, AMS-nya hampir selesai. Djohan juga mengikuti
kursus-kursus politik yang diadakan Golongan Merdeka-sebuah golongan yang
sebenarnya pecahan dari PNI Soekarno yang tidak setuju dengan pendirian
Partindo (Partai Indonesia)-nya Mr. Sartono yang juga pecahan PNI. Golongan
Merdeka ini lalu menyebut diri
sebagai PNI Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) pada september 1931.
Partindo hadir sebagai partai berbasis massa,
seperti halnya PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial. PNI baru
hadir dengan konsep partai kadernya. Partindo lebih dahulu menjadi partai
politik, PNI Baru berproses lebih belakangan. PNI Baru muncul setelah
kedatangan Hatta dan Sjahrir dari Belanda, menjadi sebuah klub terlebih dahulu.
PNI baru merasa, para kader partai berdisiplin tinggi walau kecil jumlahnya,
akan sangat menguntungkan dalam pergerakan. Dengan
nama Pendidikan Nasional Indonesia, PNI Baru berharap dapat mencetak para kader
pergerakan yang mengerti strategi pergerakan. Berbeda
dengan massa dari partai massa yang hanya bisa dibakar untuk bergerak,
lalu hilang tidak berdaya setelah partainya dihancurkan pemerintah kolonial.
Dalam partai kader, para kader mendapat gemblengan dari para pemimpin partai
untuk bergerak baik ketika partai dalam posisi aman bahkan ketika partai
dibubarkan sekalipun.
Pada
tanggal 20 September 1931 itu juga, PNI Baru menerbitkan edisi perdana media
mereka, Daulat Ra’jat. Sebagai media propaganda PNI
Baru, Daulat Ra’jat pada edisi pertamanya memuat
azas kerja PNI Baru yang bersipat “Kebangsaan” dan “Kerakyatan”; mereka juga
menyatakan bahwa bubarnya PKI, setelah pemebrontakannya ditahun 1926-1927,
telah menurunkan semangat pergerakan dan persatuan nasional; ada harapan bahwa
PNI Baru ini, nantinya menjadi partai baru dengan nama: Partai Daulat Ra’jat.
Hatta
sejak berdirinya PNI Baru selalu berpikiran bahwa pentingnya bekerja dalam
jalur-jalur pendidikan sosial. Kendati PNI Baru adalah partai kader, peranan
rakyat masih menjadi elemen penting dalam pergerakan, bahkan lebih penting dari
pada peranan pemimpin sendiri.
Banyak
yang berpendapat, antara tokoh pergerakan Nasional sekelas Soekarno, Hatta dan
Sjahrir terdapat perbedaan ciri dan pemikiran. Soekarno lebih cenderung bergerak dengan
partai massa sejak awal perjuangannya. Hatta lebih memilih membentuk para kader
perjuangan, begitu pula Sjahrir. Setelah pembebasannya dari penjara, Soekarno
bergabung dengan partindo. Kharisma Soekarno masih besar dikalangan rakyat
massa PNI-nya dulu, hal ini akan bagi bagi masa depan Partindo. Namun dimata
kaum elit pergerakan wibawa Soekarno sudah hilang sejak Desember 1928, saat PNI
di sapu oleh pemerintah kolonial.
Ketika
pecahan PNI lama sedang sibuk berkosolodasi kembali dalam Partindo maupun dalam
Golongan Merdeka, Djohan masih duduk di sekolah menengah dan berusia mendekati
dua puluh tahun saat itu akhirnya juga mengikuti arus pergerakan nasional.
Djohan yang sering berhubungan dengan Sjahrir, lalu menjadi salah satu pendiri
PNI Baru cabang Batavia.
Ditahun 1932, Djohan menjadi sekretaris pribadi Hatta dan Sjahrir, disamping
menjadi sekretaris cabang dimana Sjahrir menjadi ketuanya. Saat itu pula, Djohan berencana
menempuh studi hukum di RHS Batavia. Ditahun 1932, Djohan menjalani dua hal sekaligus, kuliah
dan berpolitik.
Djohan sering menulis di Daulat Ra’jat serta pernah menyumbang artikel
di Indonesia Raja milik Perhimpunan
Pelajar-palajar Indonesia (PPPI), dimana Djohan juga salah satu anggotanya.
Artikelnya di Indonesia Raja, mengecam keras kerjasama dengan
pemerintah kolonial. Artikel itu mengundang reaksi dari pemerintah kolonial
yang segera menangkapnya dengan tuduhan menghasut khalayak umum untuk berbuat
kekecauan. Djohan diganjar hukuman 18 bulan penjara di Sukamiskin, Bandung.
Kuliah hukumnya di RHS yang baru beberapa bulan itu harus ditinggalkanya dulu.
Sebuah kebijakan agar Djohan bisa terus belajar dan ikut ujian akhir tahun-pun
di atur kendati ini tidak disukai oleh komunitas Belanda. Sebebasnya dari
Sukamiskin (1935), Djohan menolak menandatangani sebuah surat resmi (mungkin
dari pemerintah kolonial) yang mengaharuskannya berjanji untuk tidak lagi
melibatkan diri dalam dunia berpolitik-bersama kaum pergerakan-di masa datang.
Akibatnya Djohan tidak diperkenankan meneruskan kuliah hukumnya di RHS. Masa
depannya terancam suram tanpa gelar meester, bisa jadi orangtuanya akan sangat
kecewa, harapan menyekolahkan Djohan ke RHS tidak terwujud, karena pergerakan.
Hukuman penjara menjadi suatu berkah sebab dirinya tidak dikenai tindakan
sebagai aktivis PNI Baru pada tahun 1933-1934, yang diantaranya ada yang
dibuang ke Boven Digul-seperti Hatta dan pamannya, Sjahrir. Sisi buruknya,
Djohan menjadi terpisah untuk beberapa saat dari dunia pergerakan bersama
Sjahrir dan Hatta.
Tertutupnya
pintu RHS bagi dirinya, membuat Djohan terjun ke dunia jurnalistik, dunia yang
pernah membuatnya mendekam di penjara Sukamiskin selama satu setengah tahun.
Semula Djohan bekerja di Kantor Berita dan Biro Iklan Arta-milik Samuel de
Heer, seorang Belanda-yang mempersiapkan artikel-artikel feature untuk dimuat koran-koran di Hindia
Belanda. Setelah keluar dari Arta, di tahun 1937, bersama dengan Adam Malik,
Pandu Kartawiguna dan lainnya mendirikan kantor berita Antara. Pengalaman kerja
Djohan selama di Arta sangat berguna di tempat baru ini. Kantor berita Antara
menjadi lembaga yang merasa dirinya mejadi pemberi jasa informasi yang relevan
bagi rakyat terjajah bernama Indonesia. Kantor berita tersebut sudah bertahan
lama, sampai sekarang masih menggunakan nama sama seperti pada saat
pendiriannya, Antara.
Pergerakan Bawah Tanah
Sebagai
kader PNI Baru, Djohan Sjahroezah adalah anak didik yang berhasil. Kendati
masuk penjara dan partainya dibubarkan, Djohan tidak patah semangat bergerak
seperti pamannya, Sjahrir, tanpa PNI Baru sekalipun Djohan terus merangkak
dengan caranya sendiri. Tanpa mengurangi keberaniannya menerima konsekuensi
kaum pergerakan, masuk penjara, Djohan kali ini lebih berhati-hati. Sebagai
intelektual muda, Djohan bisa belajar dari pengalaman dan selalu mencari cara
dan jalur perjuangan baru.
Selepas
dari penjara, Djohan tidak berhenti dari dunia pergerakan. Suatu kali dia
pernah menghadiri sebuah rapat yang membahas menghidupkan kembali dunia
pergerakan melalui pendidikan. Dalam rapat itu Djohan menggunakan nama samaran
Mochtar. Sayangnya hal ini diketahui polisi Belanda sehingga nama Djohan muncul
lagi dalam laporan kepolisian Belanda setelah kasus delik persnya.
Usaha
jurnalistik Djohan Sjahroezah lebih bersifat semi politis dan jauh dari mapan
secara ekonomis. Setelah menikah dengan Violet Salim-setelah menikah menjadi
Violet Sjahroezah dengan Panggilan Jojet Sjahroezah-putri Haji Agus Salim,
seorang Nasionalis Islam asal Minangkabau-menambah beban bagi Djohan. Dunia
jurnalistik ditinggalkan untuk bekerja pada perusahaan minyak Shell Oil Company di Tarakan. Hal ini tidak lama, Djohan
dipecat dari perusahaan minyak terbesar dunia itu lantaran mencoba mendirikan
Serikat buruh bagi buruh-buruh disana. Djohan tinggal di Jakarta setelah pemecatan itu, dengan subsidi
adiknya yang bekerja di Nieuw Guinea Petroleum Maatscappij, Djohan memulai
eksperimen jurnalistiknya.
Tindakan
refresif pemerintah pada kaum pergerakan paska pemberontakan PKI yang gagal,
menyebabkan banyak kaum pergerakan berganti strategi. Mereka belajar dari gaya intelejen PID (Politieke
Intellingenen Dienst: polisi rahasia Belanda) yang selalu membayangi kaum
pergerakan baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pemerintah
dengan PID-nya berusaha menjadikan Hindia Belanda akuarium, seperti dalam novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, agar
dapat mengontrol apa yang terjadi di tanah kekuasaannya, Hindia. Kelompok non
koperasi setelah Pemberontakan PKI yang gagal itu semakin dihabisi riwayatnya.
Djohan
Sjahroezah mungkin meniru jejak Tan Malaka yang nyaris tidak tersentuh oleh
aparat pemerintah kolonial, berbagai penyamaran membuat gaya baru dalam dunia pergerakan seperti
novel Pacar Merah Indonesia karya Matumona. Djohan mungkin
jarang melakukan penyamaran, namun dirinya lebih sering memakai identitas
tetapnya. Djohan sering berhubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan yang disebut
PKI ilegal , sekelompok kaum pergerakan
yang tidak lagi bergerak secara terang-terangan lagi.
Bergerak
dibawah tanah sudah menjadi pilihan paling nyaman bagi PKI Ilegal terhadap pemerintah kolonial maupun
bagi kelompok lain yang non koperasi terhadap pemerintah. Hanya dibawah tanah
pula Djohan dapat bergerak, usahanya berjuang lewat serikat buruh di Tarakan
terbukti gagal, bahkan dengan pahit dia dipecat dari perusahaan tempatnya
bekerja. Sebagai jurnalis yang pernah dihukum karena delik pers ketika
awal-awal masuk pergerakan, bergerak terang-terangan sangatlah riskan bagi
Djohan.
Bergerak
dibawah tanah dilakukan Djohan sampai mendaratnya tentara Jepang di Indonesia.
Djohan diawal pendudukan Jepang pernah berhubungan dengan Amir Sjarifudin yang
kemudian ditangkap oleh Jepang. Amir
Sjarifudin juga mengaku bahwa dirinya pernah menjadi komunis bawah tanah. Di kehidupan sehari-harinya, Amir
Sjarifudin adalah pegawai pemerintah kolonial dimasa-masa sebelum masuknya
Jepang.
Keberadaan
pergerakan bawah tanah di Hindia Belanda terbukti cukup berperan dalam
pergerakan nasional khususnya pergerakan kaum non koperator. Ketika kaum
pergerakan banyak yang dipenjara bahkan dibuang ke Buru,
setiap gerakan yang ada selalu dibubarkan pemerintah kolonial dengan berbagai
cara dibubarkan, gerakan bawah tanah telah membantu mempertahankan hidup
pergerakan non koperasi di Hindia. Gerakan bawah tanah yang dilakukan djohan
Sjahroezah seolah menjadi nafas bantuan bagi pergerakan non koperasi yang
hampir kolep.
Sebagai
orang pergerakan bawah tanah, Djohan Sjahroezah, tidak pernah sepopuler
pemimpin pergerakan lainnya. Dia lebih sering melakukan hal-hal yang berkaitan
dengan pergerakan dengan tokoh-tokoh gerakan bawah tanah. Sebagai tokoh gerakan
bawah tanah pula, menjadikan nama Djohan Sjahroezah tidak pernah ada diatas
dalam daftar nama pahlawan nasional seperti pamannya, Sutan Sjahrir.
Jasa
Djohan Sjahroezah dalam dunia jurnalistik Indonesia juga besar dalam
pendirian kantor berita Antara. Dunia jurnalistik telah dijadikan Djohan
sebagai sarana pergerakannya membuat perubahan atas tanah Hindia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar