Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Jumat, 23 Maret 2012

Sutan Sjahrir

Lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat tanggal 5 Maret 1909 dan meninggal di Zurich, Swiss 9 April 1966, dalam pengasingannya sebagai tawanan politik dan di makamkan di tempat makam pahlawan (TMP Kalibata) Jakarta saat berusia 57 Tahun. Sutah Sjahrir adalah seorang politikus dan Perdana Menteri pertama Indonesia semenjak 14 November 1945 sampai dengan 20 Juni 1947.
Sjahrir anak dari Mohammad Rasad yang bergelar  Maharaja Soetan Bin Soetan Leman Palindih (gelar kebangsawanan) dan ibunya yang bernama Puti Siti Rabiah berasal dari Koto Gadang, Agam Sumatera Barat. Ayahnya menjavat sebagai penasehat Sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Meda. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948.

Masa Pendidikan
Sjahrir sekolah di Pendidikan Sekolah Dasar (ELS) dan Sekolah Menengah (MULO) terbaik di Medan, ia sering bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Ia kalau malam mengamen di Hotel De Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Tahun 1926, Sjahrir selesai dari MULO lalu masuk Sekolah Lanjutan Atas (AMS) di Bandung, AMS adalah sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di Ams, Sjahrir bergabung dengan Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (batovis) sebagai seorang sutradara, penulis skenario dan juga aktor. Hasil dari pementasannnya dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, yaitu Sekolah Tjahja Volksuniversiteit kalau di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia yang berarti Cahaya Universitas Rakyat.
Di AMS Bandung, Sjahrir Sjahrir adalah seorang Bintang. Sjahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Sjahrir aktif dalam klub debat di sekolahnya. Ia juga aktif dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu dalam Tjahja Volksuniversitetit.
Aksi sosial ini yang kemudian menjurus Sjahrir jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927 Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas perhimpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie. Perhimpunan ini kemudian berganti nama menjadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggara an kongres pemuda indonesia, kongres monumnetal yang mencetuskan ”Sumpah Pemuda” tahun 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah di kenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah ”Himpunan Pemuda Nasionalis”. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari di gebah polisi karena membandel membava koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926, koran yang di tempel pada papan dan selalu di jaga polisi agar tidak di baca para pelajar indonesia.
Sjahrir kemudian melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda di fakultas hukum Universitas Amsterdam, Leiden Belanda. Disana, Sjahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Solomon Tas, ketua klub mahasiswa sosial demokrat dan istrinya Maria Duchateau, yang kemudian di nikahi Sjahrir, walaupun pernikahan dengan nya Cuma sebentar.
Dalam tulisan kenangan, Solomom Tas berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, sehingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau Kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Sjahrir pun bekerja pada sekretariat federasi buruh transportasi internasional. Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Sjahrir juga aktif dalam perhimpunan indonesia (PI) yang ketia itu di pimpin oleh Muhamad Hatta. Di awal tahun 1930-an, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda. Mereka selalu menyerukan pergerakan jangan jadi melempem lantara pemimpinnya di penjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan.
Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di ”Da’ulat Rakyat” majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia. Dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik. Pada akhir tahun 1931, Sjahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), yang pada bulan Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air.
Sjahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannnya tentang perburuhan dalam ”Da’ulat Rakyat”. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Pada bulan Mei 1933, Sjahrir di daulat menjadi ketua kongres kaum buruh indonesia. Hatta kemudian kembali ke tanah air pada bulan Agustus 1932, segera pula ia pimpin pendidikan nasional indonesia (PNI-Baru). Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI-Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader peregrakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, pergerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI-Baru justru lebih radikal di bandingkan dengan Soekarno dan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi masa. PNI-Baru, menurut polisi kolonial cukup sebanding dengan organisasi barat.
Meski tanpa aksi masa dan agitasi, secara cerdas lamban namun pasti PNI-Baru mendidik kader-kader pergerakan yang akan siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya. Karena takut akan potensi revoluisoner PNI-Baru, pada bulan Februari 1934, pemerintah Hindia Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Sjharir, Hatta dan beberaoa pemimpin PNI-Baru ke Boven Digul, Papua. Hampir setahun dalam kawasan Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Masa Pendudukan Jepang.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin hubungan kerjasama dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti fasis. Sjahrir yakin jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI-Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda, yakni para mahasiswa progesif. Situasi objektif itupun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tidak bisa menangkap berita luar negeri karena di segel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Sjahrir di dukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1945 karena Jepang sudah menyerah, Sjahrir siap dengan masa pergerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indoensia, dan Proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemerdekaan akan di proklamasikan pada tanggal 24 September 1945. sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan Republik Indonesia di nilai sebagai hadiah Jepang dan Republik Indonesia adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan di bawa ke Rengasdengklok, Karawang Jawa Barat. Akhirnya Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan No. 56 Jakarta pusat (sekarang jalan Proklamasi No. 56 Menteng, Jakarta Pusat).
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berfikir jenih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik yaitu Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tukuh peregrakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan pemerintahan fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangkan kedaulatan Republik.
Di masa genting itu, Sjahrir menulis ”Perjuangan Kita” sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indoensia., sekaligus analisis ekonomi politik dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita  muncul menyentak kesadaran, risalah ini ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi. Tulisan-tulisan Sjahrir dalam ”Perjuanagn Kita” membuatnya tampak berseberangan dan meyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis :

Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam ini akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.
(Sutan Sjahrir)

Dan Sjahrir mengecam Soekarno

Nasionalisme yang Soekarno bangun diatas solidaritas hierarkis, feodalistis, sebenarnya adalah fasisme musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita”
(Sutan Sjahrir)

Dia juga mengejek gaya agitasi masa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. ”Perjuangan Kita” adalah karya terbesar Sjahrir, kata Solomom Tas bersama surat0surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Banda Neira. Manuskrip itu di sebut Indonesianis, Ben Anderson sebagai berikut :

Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan
(Ben Anderson )

Terbukti kemudian pada bulan November 1945 Sjahrir di dukung pemuda dan di tunjuk menjadi formatur Kabinet Parlementer. Pada usianya yang ke -36 tahun mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
 

Diplomasi Sjahrir
Tanggal 2 Oktober 1946, Presiden Soekarno menunjuk kembali Sjahrir sebagai perdana Menteri, guna melanjutkan perundingan linggrajati, di desa Linggarjati kabupaten kuningan, Jawa Barat. Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbkar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit di bantah bahwa tanpa Soekarno, Sjahrir tidak berdaya apa-apa. Soekarno-lah pemimpin Republik Indonesia yang di akui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agiatsi nya yang menggelora rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kekuatan raksasa yang sudah di hidupkan Soekarno harus di bendung untuk kemudian di arahkan secara benar agar energi itu tidak meluap dan justru merusak.
Dengan siasat-siasat Sjahris  menunjukan kepada dunia Internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuanagn suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca Perang Dunia II. Di pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dan lain-lain. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA menegakkab tertib sosial sebagaimana kondisi Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan kesenian yang kemudian diliput dan di publikasikan oleh wartawan luar negeri.
Meskipun jatuh bangun akibat sebagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, II, III (1945-1947) konsistensi memperjuangkan kedaulatan lewat jalur di plomasi. Sjahrir tidak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasi nya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berudning dengan Pemerintahan Republik Indoensia. Secara politik, hal ini berati secara De Facto mengakui eksistensi Pemeringtahan Republik Indonesia.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sjahrir setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sajahrir di utus menajdi Perwakilan Indoensia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Sjahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo Mesir untuk menggalang dukungan India dan Mesir. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Sjahrir berpidato di muka Sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Sjahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas di eksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian secara piawai Sjahrir mematahkan satu persatu argumen yang sudah di sampaikan wakil Belanda, Van Kleffens. Dengan itu, Indoensia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangakn kedaulatannya di gelanggang internasional.
PBB pun ikut campur, sehingga belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia- Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya. Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang Diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang Diplomat muda dari negeri yang baru lahir. Van kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi Duta Besar Belanda di Turki. Sjahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai The Smiling Diplomat. Sjahrir mewakili Indoensia di PBB selama 1 bulan dalam 2 sidang. Pimpinan delegasi Indoensia selanjutnya di wakilkan oleh Lambertus Nicodemus Palar  (L.N. Pala) sampai tahun 1950.

Aktif di Partai
Selepas memimpin kabinet, Sjahrir diangkat menjadi penasehat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar keliling. Pada tahun 1948 Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Menurutnya pengertian sosialise adalah menjunjung persamaan derajat tiap manusia.

Akhir Hayat
1955 Partai Sosialis Indonesia gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) TAHUN 1958, hubungan Sjahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai kahirnya Partai Sosialis Indonesia di bubarkan tahun 1960. tahun 1962 hingga 1965, sjahrir di tangkap dan di penjarakan tanpa di adili sampai menderita Stroke. Setelah itu Sjahrir di ijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua Partai Sosialis Indonesia Sugondo Djojopuspito mengantarkan beliau di bandara Kemayoran dan Sjahrir memeluk Sugondo dengan air mata dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.

Karya-karya Sutan Sjahrir antara lain :
-          Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari majalah “Daulat Rakyat” tahun 1931-1940)
-          Pergerakan Sekerja, tahun 1933
-          Perjuangan Kita, tahun 1945
-          Indonesia Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan Boven Digul dan Banda Neira, dari tahun 1934 sampai 1938)
-          Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari bahasa Belanda : Indonensische Overpeinzingen oleh HB. Yasin)
-          Out of Exile, tahun 1949
-          Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB. Yasin dari Indonesia Overpeinzingen dan bagian II Out of Exile)
-          Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karanagn dari majalah Suara Sosialis tahun 1952-1953)
-          Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangon,  1953)
-          Karanagn-karanagn dalam “Sikap ”, “Suara Sosialis” sosialisme Indonesia pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir di terbitkan oleh Leppenas).

Jabatan
-          Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
-          Menteri Laur Negeri Republik Indonesia
-          Ketua Partai Sosialis Indonesia
-          Ketua delegasi Republik Indonesia pada perundingan Linggarjati
-          Delegasi Indonesia dalam sidang PBB
-          Duta besar keliling (Ambassador at large) Republik Indonesia  

Tidak ada komentar: