Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/08/cara-membuat-link-bergoyang-di-blog.html#ixzz28xrWTRe3
ENO SOCIALIST "Keterasingan Dalam Kemunafikan"

Jumat, 23 Maret 2012

Sumitro Djojohadikusumo

Prof. Dr. Soemitro Djojohadi koesoemo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917 – meninggal di Jakarta, 9 Maret 2001 pada umur 83 tahun) adalah salah seorang begawan ekonomi Indonesia yang terkenal. Murid-muridnya banyak yang berhasil menjadi menteri pada era Suharto seperti JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Selain itu, Soemitro juga merupakan ayah dari Mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, ayah mertua dari mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedrajad Djiwandono, dan juga besan dari mantan Presiden Indonesia, Soeharto. Soemitro adalah anak dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia dan Ketua DPAS pertama dan anggota BPUPKI.
Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya adalah sebagai Menteri Keuangan,Menteri Perindustrian dan Menristek.

Begawan Ekonomi Indonesia
Ia pernah lima kali menjabat sebagai menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru. Begawan ekonomi yang ikut mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ini juuga diangkat oleh PBB menjadi anggota “lima ahli dunia” (group of five top experts). Dalam rangkaian perjuangan dan pengabdian kepada bangsa dan negaranya, ia juga pernah menjadi ‘penyelundup’ dan sempat bergabung dalam PRRI/Permesta, bahkan menjadi ‘pelarian’ selama sepuluh tahun di luar negeri.
Sumbangan Sumitro Djojohadikusumo ''Bapak Sarjana Ekonomi Indonesia" terhadap perkembangan ilmu ekonomi yang berorientasi pada kebijaksanaan pembangunan di Indonesia, tidak diragukan lagi. Ia berhasil mengenyam pendidikan hingga meraih doktor bidang ekonomi yang menurut ukuran orang pada zamannya masih sangat sedikit jumlahnya. Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan "mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar. Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya. Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics. Ia lalu melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937-1938). 
Antara 1938-1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Dari mereka dia belajar banyak tentang pengabdian, perlawanan, keadilan sosial, dan kekonsistenan hidup. Ia kemudian sempat ikut latihan militer di Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena umurnya belum genap 21 tahun. 
Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. Ia memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda, 5 Mei 1940. Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof. Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya. 
Disertasinya berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie yang dalam bahasa Indonesia berarti "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi" diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hogeschool. Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Sementara, usianya baru menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi. 
Setelah menggondol gelar doktor, Sumitro ditampung oleh Sjahrir, dijadikan pembantu staf Perdana Menteri (1946), diterima sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang waktu itu dipimpin oleh Sjahrir-Amir Syarifuddin. Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalani operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari ancaman maut. 
Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan kekuatan sugestif bagi kesembuhannya. Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan Mr. Zairin Zain ikut hadir. Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Tangerang. 
Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru untuk menghadapi diplomasi Belanda. 
Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan di Lake Success, AS. Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir. 
Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya, tepatnya 7 Januari 1947. Ia berjumpa pertama dengan Dora Sigar di Rotterdam tahun 1945. Ketika itu Dora belajar di Ilmu Perawatan Pascabedah di Utrecht. Menjadi “Penyelundup”
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. Satu hari kemudian Sumitro bergegas menemui Robert A. Lovett, pejabat sementara Menteri Luar Negeri AS di Washington DC sambil membawa sebuah memorandum. Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949. Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Mr AA Maramis.
 
Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi perekonomian Indonesia. 
Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA. Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. Ia belajar jadi "penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dari Sjahrir dan Bung Hatta. 
Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98 orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr Sjafruddin Prawiranegara. Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei 1950. Pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir roboh. 
Kemudian, Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta Sumitro menjadi dekan, dimana dia salah seorang pendiri fakultas tersebut. Waktu itu usianya 34 tahun. Belum lama menjabat dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu ekonomi di FE-UI. Selama di FE-UI, Sumitro ingin menjadikannya Jakarta School of Economics yang punya integritas. Dari sana, lahirlah orang-orang seperti Widjojo Nitisastro, Barli Halim, JB Sumarlin, dan Ali Wardhana.
Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo. Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30 Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI. Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 - 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah. Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi.
Tanggal 30 Juli 1953 - 24 Juli 1955 adalah masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kemudian terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956) dan Sumitro kembali dipercaya sebagai Menteri Keuangan. Perjuangkan Otonomi Daerah Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia dituduh melakukan korupsi besar-besaran. Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung. Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro. Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8 Mei 1957, ia dipanggil lagi. 
Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa hendak ditangkap. Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan komunis dan mengabaikan pembangunan daerah. Pada Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei 1957, ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Achmad Husein. Malamnya Sumitro menuju Pekanbaru, menemui Kapten Yusuf Baron. 
Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari 1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).  Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menghubungi dewan-dewan militer di daerah. Sekaligus menghubungi Sumitro Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi kelasi kapal menuju Singapura. "Ia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang menteri PRRI," tulis Djoeir dalam bukunya, Memoar Seorang Sosialis (1997, hlm 268). Belakangan, setelah Sumitro terlibat dalam PRRI, Presiden Soekarno mendapat dalih bagus untuk membubarkan PSI dan Masyumi bulan Agustus 1960.
Sumitro lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta). Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi. Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI. Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket (Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa dengan pesawat bermuatan amunisi. 
Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah. Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas, "Kalau demikian, saya tidak bisa ikut, sebab negara kita satu."

Pelarian ke Luar Negeri
Ketidaksepakatan ini mendorong Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke Jakarta. Pemerintahan Soekarno masih menganggapnya pemberontak yang harus disingkirkan. Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran. Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim. Di Hongkong orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry Kusumo atau Henry Tau di Bangkok. 
Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok. Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia menjadi saudagar mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala Lumpur. Ia memakai nama Kusumo. 
Sebagai orang tua, ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat anaknya. Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan Gubernur BI J Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar kesarjanaan. Begitu juga Ny Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi pengusaha sukses. Kembali ke Tanah Air
Pada Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia kembali?" Sumitro bilang, "You just remain yourself, and I just remain myself."  Kemudian, Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air. 
Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29 Mei 1968. Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk. Inflasi 600% lebih, kala itu.  Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret 1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional (Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.  Menjadi Konsultan
Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Penggemar kopi dan perokok berat ini menjadi konsultan. Juga menulis buku. Dalam kurun waktu 1942-1994, ekonom yang fasih berbahasa asing antara lain bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Spanyol ini telah menulis 130 buku dan makalah dalam bahasa Inggris. 
Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). Ia sempat menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan. Pada 18 September 1992 - Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom Astra.  Buku terakhir yang ditulisnya adalah Jejak Perlawanan Begawan Pejuang yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, April 2000. Berbagai tanda penghargaan yang diperolehnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri antara lain Bintang Mahaputra Adipradana (II), Panglima Mangku Negara, Kerajaan Malaysia, Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class dari Kerajaan Thailand, Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia serta yang lainnya dari Republik Tunisia dan Perancis. 
Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun 1955. 
Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)  Sumitro sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya. "Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi.  Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.  Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).  Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk barang-barang tertentu. Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi kalau institutional disease, sudah perlu antibiotika. Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak. Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas, 11/1/1998). 

Akhir Hayat
Pada usia menjelang 84 tahun, Sumitro meninggal dunia Jumat (9/3/2001) pukul 00.00 di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur, setelah beberapa lama dirawat karena sakit jantung. Di bawah iringan gerimis dan tahlil masyarakat, jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2001) siang sekitar pukul 14.35. Sedikitnya 1.000 warga sekitar mengikuti prosesi pemakaman.
Tampak hadir melayat antara lain Gus Dur (presiden saat itu), Ketua MPR Amien Rais, KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto, Ketua DPR Akbar Tandjung, pengusaha Ciputra, bekas Mentrans AM Hendropriyono, Pangkostrad Letjen TNI Ryamizard Ryacudu, Soeripto, Letjen (Purn) Sayidiman, bekas Pangkostrad Jenderal (Purn) Kemal Idris, Wakasad Letjen Kiki Syahnakri, bekas Menkeu Radius Prawiro, Menkimpraswil Erna Witoelar, Menko Perekonomian Rizal Ramli, dan Gubernur BI Syahril Sabirin. 

Tidak ada komentar: